Rasa hangat menerpa dadaku, menjalar menuju ke setiap sendi-sendi dalam tubuhku.Perasaan nyaman yang membuatku sangat terusik.
Mencobaku membuka mata perlahan.
Aku mulai merasakan napasku.
Jariku bergerak sedikit demi sedikit.
Saat aku mengerjapkan mata, yang pertama kali kulihat adalah langit-langit gua yang gelap.
Mataku bergulir mengelilingi ruangan, dan aku menemukan gadis-berambut-coklat-ikal sedang menatapku.
Di sampingnya terdapat makhluk kecil-bersayap yang sedang memakan sepotong kue.
Aku melihat sekeliling lagi. Tapi, Baba-san tidak ada.
Aku mencoba duduk dengan gusar, dan bernapas lega ketika kulihat tubuh dan rambutku sudah kembali seperti biasa.
Aku balas menatap gadis-berambut-coklat-ikal itu. Aku ingin menanyakan banyak hal padanya. Seperti, bertanya dimana Baba-san, dan mengapa saat itu dia berada di kamar Ibuku.
Namun, pertanyaan itu tercekat di tenggorokanku.
Tatapan matanya menyiratkan kepedihan, kesedihan, dan ... keputusasaan.
Dia sudah melalui peristiwa yang menyakitkan. Sangat menyakitkan.
Jadi, aku memusatkan perhatianku pada makhluk-kecil-bersayap di sampingnya.
Sedangkan, makhluk-kecil-bersayap di sebelahnya, hanya memakan kue dengan hikmat, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia terlihat santai, sesekali kulihat ada selai yang menempel di bibirnya, dan dia menjilatnya dengan nikmat.
Kemudian, aku melihat Baba-san memasuki ruangan. Membuatku teringat kata-kata itu 'kau akan ... mati.'
Tiba-tiba kepalaku berdenyut.
Ah, sial.
Mataku memancarkan keingintahuan besar--tentang semua kejadian yang menimpaku--pada Baba-san.
"Baba-san, apa maksud perkataanmu?"
"Apa maksudmu memanggil Baba-sama, dengan tidak sopan begitu!" Saat aku berkata begitu, tiba-tiba gadis berambut coklat-ikal itu berdiri dan berkata marah padaku. Matanya berkilat-tidak percaya.
Aku menatapnya heran. Tapi, aku tidak mungkin membiarkannya begitu. Aku bukan gadis yang akan diam saja ketika ada yang mengibarkan bendera perang.
Aku menatapnya sinis. "Tidak mungkin. Dia menyuruhku memanggilnya Baba-san, kau tahu?"
Kudengar giginya bergemelatuk. Tangannya terkepal kuat.
Aku mencoba memanasinya lagi. "Lagipula, apa kau pelayannya Baba-san? Atau," Aku memutar kedua bola mataku--memasang pose berpikir, "peliharaannya?
"Ah, iya! Itu sebabnya kau memanggilnya Baba-sama!"
Aku mengakhiri kalimatku dengan sebuah seringaian. Senyuman kemenangan.
Seketika, dia mengeluarkan tongkatnya dan menunjukku dengan pandangan merendahkan.
"Kau! Manusia tidak tahu diri! Kutantang kau berduel denganku!" serunya.
Dia menarik napas dalam-dalam. "Kita buktikan, siapa yang sebenarnya pelayan Baba-sama!"
Bagai barak api yang ditumpahkan minyak, emosiku tersulut. Aku menatapnya bengis, dan mebalas perkataannya, "kuharap, kau tidak akan menangis."
Aku melihatnya memasang kuda-kuda. Aku berdiri menjauh. Tapi, aku mempunyai masalah, aku tidak tahu bagaimana caranya menggunakan sihir dan aku juga tidak pandai bela diri.
Sedangkan, gadis itu sudah membaca suatu mantra, dan siap menyerang.
Aku memejamkan mataku. Merasakan angin, menyelami udara, dan berbicara dengan rukh. Aku tidak tahu mengapa bisa. Itu, terjadi begitu saja.
Rukh membimbingku, mereka menuntunku.
Dan, entah darimana aku mempelajarinya. Tapi, kini air berada di atas tangaku.
Dia tampak terkejut sekilas. Setelah itu, kembali memasang ekspresi angkuhnya.
Aku sudah berancang-ancang menyerangnya dengan bola airku. Dia sudah membaca mantra, dan dalam sekejap mata, air dan api beradu. Menerbangkan beberapa helai rambutku.
Saat kupikir bola airku jauh lebih unggu daripada bola apinya. Saat itu juga aku melakukan sebuah kesalahan.
Ternyata, dia menyerangku dengan dua bola api secara bersamaan. Hanya saja, tadi aku tidak melihatnya. Karena terlalu fokus pada bola airku.
Aku merasakan para rukh berteriak. Aku dapat mendengar peri-peri menjerit. Peri-peri itu kebingungan. Kenapa?
Mereka terlihat ingin menyelamatkanku. Namun, tidak jadi begitu melihat gadis berambut coklat-ikal.
Mereka menjerit gila. Mereka terlihat tertekan
Pada akhirnya, aku hanya pasrah, saat bola api itu berjarak tiga meter dariku. Bahkan aku sudah bisa merasakan panas api itu.
Tapi, seketika Baba-san sudah berada di depanku. Dan bola api itu lenyap. Dia bukan menangkis bola api itu, dia menyerapnya melalui tongkat panjang itu.
Aku terkejut dan gugup.
Menerima tantangan lawan, dan kalah dengan memalukan.
Namun, bukannya tersenyum puas akan kemenangannya. Gadis berambut coklat-ikal itu merasa bersalah dan juga ... takut.
Mungkin, dia memang pelayannya Baba-san.
Kami bergeming beberapa saat. Hingga, suara kekehan Baba-san terdengar.
Aku tidak tahu mengapa Baba-san tertawa. Tapi, napasku meluncur lega. Begitu juga dengan gadis itu.
Tapi, kekehan Baba-san terhenti jelang beberapa detik.
Napasku dan gadis itu tersekat kembali.
Kami menatap Baba-san dengan takut-takut.
Tiba-tiba, Baba-san berkata, "seharusnya, kalian memperkenalkan nama kalian masing-masing sebelum berperang." Dia tersenyum ramah. "Yah, walaupun kejadian ini membuatku mengingat masa lalu."
"Kalian berdua, kemarilah." Baba-san menjulurkan tangannya--menyuruh aku dan gadis berambut coklat-ikal mendekat.
Begitu kami berjarak beberapa senti darinya. Dia memeluk kami.
Hangat.
Ketika dia melepaskan pelukannya, aku tidak rela.
"Ketika kalian terbangun nanti, setidaknya berikan nama kalian untuk diingat."
Eh?
Apa maksudnya?
Baba-san tersenyum menenangkan. "Sayangku, tidak semua orang istimewa, kekuatan itu bukan kutukan, cintailah mereka. Tapi, ingatlah ini, Nak.
"Kebenaran berada di dalam kegelapan."
Kemudian~
Aku terbangun.
:
:
:
:
:
:Sampai jumpa di gema yang akan datang.
Salam Fairy;
Onyaw😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Ocean Echo
Fantasy{Fantasy & (Minor) Romance} Namaku Mika. Kelas sepuluh. 15 tahun. Aku benci hujan. Hujan menyayangiku. Mereka berbisik ingin memelukku. Mungkin aku 'penyihir'. Tapi, aku tidak berbohong. Karena aku~ Bisa melihat peri. Cover by:foraneki