Echo XV

1.1K 186 0
                                    

Di seberang sana, anak lelaki itu terus berdiri sejak beberapa waktu yang lalu.

Aku hanya memperhatikan tanpa ada niat menginterupsi.

Dia--lelaki itu--terlihat sangat familiar bagiku.

Saat ini aku sedang berada di suatu ruangan kosong. Dindingnya berhias permata dan marmernya dilapisi beludru. Di depanku terdapat sebuah dinding kaca yang membatasiku dan aku sedang mengamati anak lelaki di seberang sana melalui lapisan kaca itu.

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di ruangan mewah ini. Di tempat ini juga tidak terdapat pintu satu pun.

Lelah memandangi anak lelaki itu, aku mereganggkan kepalaku dan mendongak menatap ujung ruangan yang sangat tinggi hingga menyentuh langit-langit awan.

Di atap bangunan ini terpahat sebuah sketsa yang sangat aneh--sebuah peninggalan tua disertai tulisan-tulisan aksara kuno.

Ras terkutuk, dengan berkah keindahan.

Aku mengernyit. Sejak kapan aku bisa membaca tulisan itu? Lagipula tulisan itu berada sangat jauh di atas sana. Menjunjung tinggi mencapai langit. Bahkan jika kupikir-pikir, seharusnya melihatnya saja aku sudah tidak bisa. Seharusnya tulisan dan lukisan itu hanya sebuah titik kalau kulihat dari tempatku saat ini.

Aku menggelengkan kepalaku dan terus membaca.

Keberuntungan suci yang melampaui kutukan.

Di atas tulisan-tulisan itu aku menemukan lukisan yang sangat menarik perhatianku.

Terlihat pahatan seseorang malaikat sedang menusuk sebuah jantung kemudian memakannya. Lalu, malaikat itu berubah menjadi sangat berbeda, seolah bertambah kuat dan menggabungkan tiga elemen; Angin, air, dan tanah. Kemudian dia mencoba menyatukan gabungan elemen tadi pada sesuatu yang terlihat seperti cahaya. Cahaya terang yang bersinar sangat indah.

Tetapi ...

Dia gagal.

Cahaya itu pergi menjauh dan ketiga elemen itu berpisah kembali. Namun, sesuatu yang aneh telah terjadi. Sebuah cahaya aneh berwarna gelap menyatu dengan ketiga elemen tersebut. Dan semua menjadi ... kacau.

Sang Malaikat menjadi gila. Semua kegagalan berbalik pada Malaikat itu, dan membuatnya, mati.

Kini, ketiga elemen itu telah seperti sediakala  walau sudah bercampur dengan kegelapan.

Sekarang, ketiga elemen itu tampak indah dengan cahaya gelapnya.

Ada beberapa pahatan yang tidak dapat kulihat karena tertutupi oleh awan.

Aku menunggu awan itu pergi dan mulai membacanya lagi.

Daging murni yang dicintai oleh kebusukan. Dan ...

Saat membaca kalimat terakhir mataku seperti tertusuk oleh sesuatu.

Aku mengaduh perih dan menunduk, menyentuh mataku yang tidak terluka apalagi berdarah.

Darah?

Kenapa aku sampai lupa?

Akh.

Badan ku mulai terasa nyeri. Rambut keemasan anak lelaki waktu itu terlintas di pikiranku.

Aku langsung menatap anak lelaki tadi. Dia sama dengan lelaki yang menggendonggku saat itu.

Ketika aku melihatnya lagi, kali ini bukan anak lelaki itu yang ada disana, melainkan sesosok pria remaja dengan rambut keemasan yang sama.

Aku berteriak memanggilnya, memukul-mukul dinding kaca yang menghalauku untuk bertemu dengannya.

Dia menoleh sebentar dan mengatakan sesuatu.

Perkataannya tidak dapat kudengar, tapi aku mengerti, setelah membaca gerakan bibirnya.

"Terima kasih."

Dan dia berjalan menjauh.

Aku menendang dinding kaca itu sekuat tenaga sampai terdengar bunyi retakan. Butuh tiga kali tendangan dan hantaman lagi untuk menghancurkan kaca berlapis ini.

Ketika kaca itu hancur menjadi kepingan aku segera melangkah hati-hati melewati serpihan kacanya dan berlari mengejar lelaki itu.

Saat aku tepat berada di belakangnya dan hendak menyentuhnya, dunia seakan terhisap dan berputar. Aku tertarik mundur dan menjauh dari lelaki berambut keemasan itu. Semakin jauh, dan jauh.

"Tunggu!" teriakku padanya. Tanganku mencoba menggapai dirinya. Dan kepalaku berdengung seperti terhempas.

~~Ocean_Echo~~

Seseorang memukul tanganku dan membuatku terbangun.

"Ma-ma-ma-maafkan aku." ucap seorang gadis dengan terbata-bata.

Kerongkonganku terasa kering, tubuhku lemas dan sakit.

"Dasar! Kau sudah membuatku repot, gadis bodoh!" Di sudut ruangan aku mendengar Titania berkata dengan malas.

Aku tertawa mendengar pernyataannya.

Lalu, perhatianku teralih pada sesosok gadis dengan matanya yang tidak memiliki pupil, sama seperti gadis polos menyeramkan itu.

Tuk.

Seseorang menyentil keningku dan membuatku mengaduh.

Aku menoleh dengan cepat ke arah orang itu dan terperangah.

Dia ...

Hal.

Juga, Hal telah memangkuku selama ini, dan aku sama sekali tidak menyadarinya.

Aku bergerak gelisah secara tidak nyaman, berusaha berdiri untuk tidak tidur di pangkuan Hal lebih lama lagi.

Tapi, Hal menahan kepalaku dan menatapku marah.

Dia melihatku dengan tatapan mengerikan dan aku tidak sanggup menatapnya lebih dari lima detik. Segera aku mengalihkan pandanganku.

Namun dia tidak melepaskan tangannya dari kepalaku. Aku dipaksa untuk menatapnya lebih dari yang aku bisa.

"S-sudah, 'kan!" ucapku pada Hal. Aku melepaskan tangannya dari kepalaku dan segera duduk.

Kepalaku masih terasa sakit dan punggungku sangat ngilu. Tapi aku menyembunyikannya dengan menekan pangkal hidungku.

Aku berdehem. "Siapapun tolong jelaskan keadaanya padaku."

Aku memperhatikan orang-orang  di sekelilingku; Hal yang bersandar pada Griffin, ada Titania yang duduk di atas Griffin, dan ada juga seorang gadis asing yang kelihatan sangat takut di dekatku.

"Dimana peri ce-" ketika aku mengatakan kalimat itu, dari sudut mataku aku melihat peri cantik itu sedang terbang  ke arah ku.

"Makhluk bodoh ini sudah terbangun rupanya." Alba melihat dan mencemoohku, kemudian berkata lagi,  "aku sudah mengecek sekitar, gadis itu tidak berbohong." Dia berhenti sesaat untuk menatap gadis aneh berpakaian putih di dekatku. "Kita~

Sudah berada di Lembah Putih."

:
:
:
:
:
:

Sampai jumpa di gema yang akan datang.

Salam Iblis;
Hikari😍

Ocean EchoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang