Echo XVIII

1K 170 0
                                    

Sesak. Sesak sekali.

Sesuatu yang dingin menyentuh pipiku.

Napasku kembali normal dan aku berhasil membuka mataku.

Aku duduk dan memperhatikan sekitar.

Tepat di sampingku berdiri Hal, Alba, dan Titania. Sedangkan Zephyr berada beberapa meter di belakang mereka--menunduk saat aku melihatnya.

Saat ini aku sedang berada di sebuah rumah batu yang diciptakan Alba. Bagaimana aku tahu?

Tentu saja karena aku pernah melihat Alba membuatnya sekali.

Aku mengalihkan pandanganku ke depan dan melihat gadis mungil bermata merah pekat tepat melayang di hadapanku.

Dia bergerak gelisah--malu-malu.

"Se-selamat! Putri Mika lulus ujian dari saya." katanya seraya bertingkah malu-malu.

Kedua alisku bertaut. "Aku tidak pernah mengikuti ujian apapun darimu." Aku menghela napas dan bertanya padanya, "mengapa kau jadi bersikap pemalu begini?"

Dia tersentak dan buru-buru menjelaskan, "ma-maafkan saya Putri Mika, saya tidak bermaksud. Mulai sekarang saya akan menjadi salah satu pengikut setia Anda. Dan juga ... " gadis mungil itu tersenyum manis. "Terima kasih telah membebaskan saya."

"Beraninya berkata seperti itu setelah hampir membunuhnya! Kau itu bodoh atau apa?" Hal memaki gadis itu.

Hal menggenggam tangannya erat. Buku-buku jarinya mengeras. Urat-urat di wajahnya menandakan betapa kesalnya dia saat ini.

"Apakah Putri marah?" Gadis itu menatap sedih padaku.

Sejujurnya aku tidak menyesal bertemu dengannya karena dia yang telah menyadarkanku.

Dia telah memberikan pukulan telak padaku yang disebut orang-orang dengan 'kenyataan'.

"Tid-"

"Tentu saja dia marah! Apa yang kau harapkan?" Hal memotong ucapanku.

Aku menatapnya tidak mengerti.

Kenapa malah Hal yang marah?

Aku saja tidak masalah dengan Hal ini. Toh aku tidak mati juga.

Aku menyentuh lengan Hal dan mengatakan, "mana mungkin aku marah melihat kau yang kesepian seperti itu, 'kan?"

"Benarkah?" tanyanya riang.

"Tentu saja." Balasku.

"Ngomong-ngomong apa kau punya nama?" tanyaku padanya.

"Redcurrent. Panggil aku karen, Putri!" serunya semangat.

Aku sangat menyukai sifatnya yang sekarang. Tapi ada yang mengganjal.

"Kenapa kau memanggil Mika dengan sebutan Tuan Putri?" Sebelum aku ingin mengatakannya Titania sudah bertanya lebih dahulu.

"Tentu saja karena Tuan Putri adalah Putri Mika!" jawabnya polos.

"Bukan itu, sialan!" teriak Titania, masih tidak sabaran seperti biasanya.

"Lalu?" Karen memerengkan kepalanya dengan imut dan mengedipkan matanya--bingung.

"Sialan, sialan, sialan, berhenti bersikap imut di depanku!" seru Titania frustasi.

"Hei, baru sekali ini dia bersikap imut di depanmu." kataku sambil melihat Titania dengan tanpa ekspresi.

"Mungkin karena aku menyukai panggilan Tuan Putri pada Putri Mika, iyakan?" Karen kembali menyuarakan alasannya dengan wajah serius yang sangat menggemaskan.

Ocean EchoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang