Di sampingku, Hal memperhatikan dengan pikiran yang melayang jauh.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Tapi aku membiarkannya.
Tanah di sekeliling gua gersang, dan gua yang adalah pusatnya, akibat amukan monster tadi. Pohon-pohon yang membuat udara sejuk menghilang digantikan tanah yang tandus yang berwarna merah dengan tekanan panas yang masih tersisa.
Ketika kedua gadis aneh itu pulih, dan Hal melepaskan cengkeramannya, aku membuat pusaran air di bawah kakiku. Untuk membantuku tidak terjatuh di ketinggian. Aku terbang ke bawah menuju tempat gadis-berambut-coklat-ikal dan gadis bertubuh mungil berada.
Saat aku mendekat, gadis-kecil-bersayap mendengus--tidak suka--dan membuang muka. Sedangkan, gadis-berambut-coklat-ikal hanya menatap nyalang.
Aku merasa bersalah, tapi tidak akan meminta maaf.
"Berhenti disitu!" Gadis-berambut-coklat-ikal berkata dengan raut masam. Aku berhenti--menjaga jarak.
Terdiam dalam keheningan yang menyiksa, Hal datang mendekat dengan sebuah kertas yang terlihat usang.
Dia memanggilku, "Mika, aku menemukannya, sedikit hancur karena meleleh."
Hal memberikan kertas itu kepadaku. Walaupun beberapa bagian di sudut-sudut kertas telah hangus, wangi pinus yang menguar tidak hilang. Surat dari Baba-san.
Aku hampir melupakannya.
Ada beberapa bagian kertas yang sulit dibaca. Sebagian, karena tercampur dengan tanah panas. Sisanya, karena tulisan tangan yang sangat buruk. Tapi, setelah memperhatikan dengan saksama, aku bisa membacanya.
Baba-san menyampaikan banyak pesan, khususnya untukku. Seperti yang dikatakan gadis-mungil-bersayap, pesan-pesan Baba-san sangat tidak penting, hanya mengingatkan tentang hal-hal remeh-temeh. Tapi, meskipun begitu, ada kasih sayang tidak terlihat di dalam surat tersebut. Aku tersenyum, bahagia dengan perhatian-perhatian kecil Baba-san.
Tapi, ada pesan yang tidak kumengerti, ditulis dengan bahasa yang tidak kupahami. Jadi, aku memberikan kertas itu pada gadis-berambut-coklat-ikal.
Dia menerimanya, dan membacanya.
Setelah beberapa detik membaca, dia terlihat merenung sesaat.
Tiba-tiba, api membakar habis kertas tersebut.
Gadis-berambut-coklat-ikal menghela napas. Dia berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya--membersihkan tanah kusam yang menempel.
Aku berseru, "kenapa kau membakarnya?!"
Dia mengangkat bahu. "Karena aku sudah membaca isinya."
Aku mengerutkan alis--tidak menyukai perbuatannya yang semena-mena.
Tapi, dia hanya berjalan melewatiku dan berhenti di depan Hal. Dia menyentuh pundak Hal, dan membisikkan sesuatu.
Setelah itu, gigi Hal bergemelatuk dan tangannya mengeras. Aku tidak tahu apa yang dikatakan gadis itu kepada Hal. Tapi yang pasti, aku tidak suka melihat Hal dekat dengan gadis itu.
Lalu, gadis itu pergi meninggalkan Hal yang mematung, menuju ke tempat para Dwarf berada. Dia menepuk-nepuk puncak kepala mereka berdua, dan mengucapkan kata-kata yang tidak dapat kudengar.
Aku mendekati Hal, dan bertanya apa yang dibisikkan gadis itu padanya. Namun, pemandangan matahari yang akan tenggelam, seolah menyerukan sebuah fakta, bayangannya menghalau pandanganku, sehingga membuatku menyipit untuk melihat Hal lebih jelas. Tapi, itu saja membuatku tersadar, sedetik yang lalu, mata Hal bersinar merah, mengerikan. Sama seperti gadis yang ingin menusuk gadis-berambut-coklat-ikal di kamar mandi sekolah, dan serupa dengan mata merah Troll yang menyerangku waktu itu.
Bersamaan dengan pikiranku itu, matahari telah tenggelam sepenuhnya, menampilkan sisi malamnya yang gelap, dan mengingatkanku akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang membuatku takut.
Karena tadi, Hal telah memperlihatkan sisi kelamnya.
Kebenaran berada di dalam kegelapan. Kata-kata Baba-san, menerobos masuk dan memecahkan sebagian kepercayaanku pada Hal.
Seketika, aku refleks mundur selangkah--menjauhi Hal.
Tindakan itu, memunculkan tanda tanya pada Hal. Keningnya berkerut, dan dia menaikkan satu alisnya.
Aku menghiraukannya dan maju mendekat lagi--seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, dia tetap memandangku heran. Jadi, aku balas menaikkan kedua alisku. Dia menatap kedua mataku, membuatku meremas tangan dengan gelisah. Sekarang, dia terlihat mengintimidasi, keringat meluncur bebas di tanganku, lalu dia tersenyum seperti biasa. Dan aku bisa bernapas lega.
Untuk sekarang, Hal tidak boleh tahu, kalau aku mencurigainya.
Gadis-berambut-coklat-ikal, mendatangi kami setelah berbicara dengan kedua Dwarf yang telah menyelamatkanku.
Aku juga khawatir dengan mereka, tapi aku tahu, aku tidak berhak merasa seperti itu. Karena, aku telah membiarkan mereka dilahap oleh cairan lava yang melelehkan semua yang dijilatnya. Walaupun, gadis-berambut-coklat-ikal berhasil menyelamatkan mereka.
Jadi, aku mengurungkan niatku.
Ketika gadis-berambut-coklat-ikal di depanku, dia berkata, "sebaiknya, kita bergegas, kita akan sampai dua hari lagi jika berangkat sekarang."
Dia menoleh ke arah si gadis bersayap. "Alba, bersabarlah."
Gadis bertubuh mungil dan memiliki sayap; Alba, terbang ke arah gadis-berambut-coklat-ikal. Bibirnya mengerucut. Saat melewatiku dia membuang muka. Aku tersenyum kecut melihat caranya memperlakukanku.
Tapi, aku tidak mengerti maksud perkataan gadis itu. "Kita? Aku tidak punya waktu, menemanimu. Aku akan mencari Ibuku!" seruku.
Dia terlihat marah, tapi berhasil mengendalikannya. "Baba-sama, menyuruhku membantumu, kita harus ke suatu tempat, " dia menjelaskan dengan baik," waktumu tidak banyak. Kau ... akan mati, jika tidak cepat."
Mataku melebar, jantungku berpacu kencang. Aku berusaha menjaga suaraku tetap stabil, tapi, tetap saja aku berbicara seperti tikus terjepit. "Ma-mati?"
Dia tersenyum culas. "Jika kau ingin tahu, ikutlah!"
Kemudian, dia bersiul. Sesaat tidak terjadi apapun. Tapi, tiba-tiba saja, seekor hewan besar muncul di hadapanku.
Bertubuh singa, berkepala elang; Griffin.
Chimera gagah, meraung dengan mengerikan. Dia membungkuk dengan cara menekuk kaki depannya.
Gadis-berambut-coklat-ikal mengelus kepala Chimera tersebut, yang disambut dengan suara melengking kegirangan.
Sebelum gadis itu menaiki Griffin tersebut, dia melihat Dwarf-Dwarf itu. "Pesanku, jangan dilupakan," dia menoleh padaku, "cepat naik!"
Aku mendekat dengan hati-hati. Tapi, ketika aku hendak menaiki Griffin itu, kedua Dwarf menarik bajuku. Aku menoleh saat salah satu dari mereka berujar, "panggil aku Al dan dia Il, semoga kau berhasil."
Mereka berdua tersenyum. Hatiku terenyuh, air mata menggenang di pelupuk mataku. "Terima kasih." ucapku, lalu memeluk mereka.
Aku melepaskan pelukanku dan mengeluarkan kekuatanku, untuk menaiki Chimera tersebut. Tapi, gadis-berambut-coklat-ikal mencegahku. Dia berkata, "Baba-sama melarangmu menggunakan kekuatan," dia membantuku naik, "lalu, ingat ini baik-baik! Namaku Titania. Walaupun terlambat, 'Salam kenal, Mika.'"
Pertama kalinya kulihat dia tersenyum, dan aku membalas senyumannya.
Kemudian, Hal ikut duduk di belakangku. Lalu~
Kami pun berangkat, menuju petualangan yang menegangkan.
:
:
:
:
:
:Sampai jumpa di gema ketiga belas.
Salam Chimera;
Onyaw😏
KAMU SEDANG MEMBACA
Ocean Echo
Fantasy{Fantasy & (Minor) Romance} Namaku Mika. Kelas sepuluh. 15 tahun. Aku benci hujan. Hujan menyayangiku. Mereka berbisik ingin memelukku. Mungkin aku 'penyihir'. Tapi, aku tidak berbohong. Karena aku~ Bisa melihat peri. Cover by:foraneki