Echo XXXI

626 82 27
                                    

Gadis ini ... adalah segalanya bagi Hal. Dan aku~

Hanyalah bayangan semu yang dimanfaatkan oleh Hal.

"Lepaskan dia!" Hal menatap nyalang pria berambut emas. Dia bergerak gelisah--khawatir.

"Hal." panggil gadis itu dengan suara yang lebih kuat.

Hal melihatnya dengan sedih. Memperhatikan tubuhnya yang kehilangan bobot, kulitnya yang dekil dengan torehan beberapa luka, rambutnya yang lusuh, dan bajunya yang sudah tidak layak pakai. Hal mendekati gadis itu perlahan, ingin merengkuhnya.

Mereka hanya berjarak beberapa langkah untuk bersama. Hal semakin mendekat agar dapat menyentuh gadisnya sebelum Toji menyeret paksa gadis itu sehingga berteriak kesakitan.

"Beraninya kau!" Hal mulai murka.

Hal bersiap menyerang Toji. Tangan Hal bersinar, cahaya putih lembut muncul dari sana dan berubah menjadi sebuah pedang. Tapi Hal tahu, itu belum cukup.

Dia mengucap beberapa mantra lalu menancapkan pedang itu pada telapak tangannya. Pedang itu tampak aneh. Seolah pedang itu menghisap darah Hal, membuatnya semerah darah.

Aku belum pernah melihat Hal seserius ini. Aku ingin tahu apa sebenarnya dia itu.

"Paladin yang berkhianat." bisik pria berambut emas.

Sial, orang-orang ini masih saja tidak tahu apa yang disebut dengan privasi. Setelah menoleh sesaat, aku kembali memperhatikan Hal.

Energi sihir di sekitar Hal semakin meningkat. Hal mencabut pedangnya. Cahaya putih itu kembali menyelimuti Hal. Perlahan cahaya itu menggumpal dan membentuk sebuah panah, pisau, dan senjata mematikan lainnya.

Kini ... Hal sudah siap bertarung.

Untuk permulaan, Hal mengambil anak panah dan membidik Toji.

"Beraninya kau mengarahkan senjata itu padaku!" amuk Toji. Tangannya menarik rantai Lily hingga tersentak.

Rantai yang menjerat leher gadis itu semakin mengencang. Kedua tangannya mencakar-cakar rantai mencoba melepasnya. Gadis itu seperti ikan di daratan--nafasnya mulai tidak beraturan.

Hal dibuat tidak berdaya. Jika dia menyerang, gadisnya akan dibunuh. Namun, dia juga tidak bisa diam saja menyaksikan gadisnya disiksa seperti ini. Hal menjatuhkan pedangnya, menimbulkan bunyi dentingan logam yang menusuk telinga. Disambung dengan jatuhnya panah dan senjata lainnya milik Hal.

Hal ... benar-benar menyerah.

Toji tersenyum culas.

Bahkan Hal belum berbuat apa-apa. Tapi dia sudah menyerah.

Cinta itu ... memang penyakit.

"Hahahahaha...." seluruh ruangan kembali ribut. Penuh dengan tawa sinis para monster.

Toji merenggangkan kembali rantai yang menggantung indah pada Lily.

Aku memperhatikan ekspresi mereka semua. Mereka penuh kebusukan. Mata mereka menatap Hal dengan pandangan merendahkan. Seolah-olah mereka ingin menelan Hal bulat-bulat.

Hal marah. Dia membenci semua orang yang menyakiti gadisnya.

Namun, yang paling dibencinya adalah dirinya sendiri karena tidak bisa menolong Lily.

Hal berlutut dengan pasrah. Mungkin, dia sudah menyerah?

Sebenarnya aku sudah muak melihat drama murahan ini. Aku juga sedikit kasihan melihat Hal seperti itu. Jadi, aku betanya sarkas, "Apa pertunjukannya sudah selesai?"

"Ah, baiklah jika itu permintaanmu ... " Toji membungkukkan badannya dan menatapku aneh. "Puteri."

Toji menatap Hal dan tersenyum licik. "Sayang sekali, tapi tidak ada pilihan lain, Paladin."

Toji berjalan santai ke arah Lily. Sebelum Hal mengerti apa maksud perkataanya, secepat kilat katana Toji menembus jantung Lily.

"Nah, sekarang ... semua sudah berakhir, Tuan Puteri." Toji mencabut katana-nya lalu menjilat darah yang mengalir di sana.

Aku terdiam, sedikit terkejut. Semua yang ada di ruangan ini membisu. Hal sama terpakunya.

Aku melirik Toji. Dia menyipitkan matanya sarat akan kepuasan. "Jadi begitu caramu membalasku?" decihku.

Kemudian aku menoleh pada Hal. Matanya menggelap. Tubuhnya bergetar. Lagi-lagi tubuhnya diselimuti cahaya putih. Tapi kali ini lebih kuat, lebih mematikan.

Hal seperti kehilangan tujuan hidupnya. Malahan ... dia telah kehilangan kehidupan itu sendiri.

Hal melihatku dengan tatapan membunuh.

"Tentu saja, ini pembalasan dendam yang sempurna." gumamku mengutuk Toji.

Hal akan menyalahkanku atas kematian gadisnya. Toji sialan.

Sekarang, apa yang ingin aku lakukan?

Apa aku ingin hidup? Tapi untuk apa!

Atau ...

Apa harus kubiarkan saja Hal melenyapkanku? Tidak buruk juga.

Baiklah, lagipula aku sudah tidak punya siapa-siapa.

"Kau tidak akan pernah sendirian."

Aku tersentak.

"Kami akan selalu bersama Putri. Jadi, Putri tidak boleh menyerah...." suara-suara halus itu terdengar.

Mereka datang lagi, heh?

Peri-peri sialan!

"Diam!" bentakku.

Seperti rintik hujan, mereka muncul satu per satu entah darimana. Bercampur suara riuh yang terdengar dari luar.

"Penganggu." Suara berat pria di belakangku menyadarkanku.

Tepat saat pria berambut emas mengatakan itu, pintu didobrak dan mereka yang selama ini kukhawatirkan datang bak penyelamat. Rambut dan baju mereka terlihat lusuh. Titania memimpin dengan tubuh penuh memar, Alba yang biasanya duduk santai di atas kue miliknya sambil mengunyah memasang raut kelelahan. Tapi, aku tidak bisa fokus mengamati mereka. Peri-peri itu tidak berhenti memanggilku. Titania mengatakan sesuatu yang tidak dapat aku dengar, hanya saja aku bisa membaca gerakan bibirnya. Mendengar dia memanggilku begitu, aku merasa aman seketika, suara-suara bising sekejap hilang dan aku tahu aku tidak sendiri.

"Dasar bodoh." gumam Titania saat itu.

:
:
:
:
:
Sampai jumpa di gema ke tiga puluh satu.

Salam onii-sama;
Kuuhaku👦

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ocean EchoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang