Echo XXVI

752 120 0
                                    

Air mataku menetes jatuh. Emosiku semakin tak terkendali. Mana yang masuk dalam tubuhku semakin banyak, sampai tubuhku menjerit ngilu.

Aku ... telah membunuh seseorang.

Kesedihan tersebut membuat darah di tubuhku bergejolak sempurna.

Seolah belum cukup aku membunuh, kedua tanganku terhempas ke sisi tubuhku dan mengeluarkan kekuatan bertekanan dahsyat.

Jangan lagi, kumohon.

Pandanganku menyorot tubuh tak bernyawa wanita itu dengan hati yang menjerit perih.

Bukan hanya jiwaku yang tercabik, seluruh tulang-tulangku berteriak kesakitan. Rasanya seperti aku ... sedang dikuliti.

Darah merembes keluar dari mataku menggantikan air mata yang kering. Aku remuk, remuk oleh rasa sakit.

"Aaaaaaaaaa!" teriakku bersamaan dengan terjadinya kekacauan besar di sekelilingku.

Kulihat seranganku yang lagi-lagi mengenaianya yang kali ini tidak akan menyisakan apapun dari tubuhnya.

Seketika aku teringat sesuatu. Seseorang pernah mengatakannya padaku. Pria yang selalu muncul di setiap ingatan masa laluku itu mengelus pipiku dan berkata, 'Emosi dan kesedihan yang mendalam adalah faktor terbesar pemanggil kegelapan. Sebaiknya kau tidak terhanyut di dalamnya, Mika. Kau tahu sendiri kalau hati yang kelam--'

"Kalau hati yang kelam akan membawa sihir pada kehancuran dunia," lanjutku kemudian.

Lalu semua berubah gelap. Tidak ada langit yang biru, seakan aku secepat kilat di pindahkan ke dimensi lain. Dalam sepersekian detik semua beban kesakitan diangkat dariku.

Yang tersisa hanya keheningan, kekelaman, kehampaan.

Tes.

Aku menoleh ke asal suara.

Tes.

Tidak ada apapun, hanya gelap yang kupandangi.

Aku menghembuskan kesal. "Tempat aneh apalagi ini?"

Dengan hati-hati aku memeriksa sekililing dan hasilnya ... nihil.

Karena lelah aku pun memutuskan untuk beristirahat. Aku duduk dengan tenang dan memeluk lututku. Rambutku terjuntai ke depan menghalangi pandanganku.

"Apa yang telah kulakukan?" bisikku. "Mengapa aku merasa kosong," aku meremas dadaku. "... walau telah membunuh orang?"

Aku memukul dadaku berulang kali. "Mengapa aku tidak merasakan apapun?"

Aku terengah-engah kesakitan dan akhirnya menyerah. Kepalaku menengadah dan aku pun tersenyum putus asa. "Aku lebih baik menerima sakit karena rasa bersalah daripada memiliki hati yang kosong."

Aku mengerang dan masih terus memukuli dadaku. Tiba-tiba, aku mendengar suara seseorang tertawa. Tawanya mengejutkan sekaligus melegakan bagiku.

"Benarkah?" kata seseorang yang tertawa tadi. "Benarkah kau ingin menanggung rasa bersalah ini, Mika?"

Mataku meraba-raba dalam kegelapan. Aku berdiri mendadak--melihat sesuatu yang sangat mustahil. Di sana, tepat di bawah setitik cahaya, dia berdiri dengan senyuman di wajahnya. Senyuman yang bahkan tampak seperti sebuah petaka.

Ocean EchoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang