"Makhluk bodoh ini sudah terbangun rupanya." Alba melihatku dan kemudian berkata lagi, "aku sudah mengecek sekitar, gadis itu tidak berbohong." Dia berhenti sesaat untuk menatap gadis aneh berpakaian putih di dekatku. "Kita~
Sudah berada di Lembah Putih."
Aku masih mencerna perkataan Alba barusan, dan kemudian bertanya, "bagaimana bisa kita sudah berada di Lembah Putih?" Mataku melirik heran ke arah gadis berpupil putih, "Dan juga ... siapa gadis ini?"
Gadis itu mundur selangkah menjauh dariku, matanya berkedip ketakutan, kedua telapak tangannya saling bertautan--mencengkram gaun indahnya yang berkilau.
Sejak tadi gadis itu sangat mengangguku. Bukan, bukan karena dia terlihat asing bagiku.
Tapi, karena mata itu. Dia memiliki pupil mata berwarna putih. Mengingatkanku pada Iblis berwujud Dewi yang barusan menyiksaku, bahkan hampir membunuhku jika saja aku tidak diselamatkan Hal dan yang lainnya.
Aku menatap kedua mata gadis itu tidak suka. Membuat gadis itu semakin ketakutan dan gelisah.
Merasakan kecanggungan kami Alba menyela, "hei kalian! Aku tahu kalian sangat bodoh, tapi aku tidak menyangka kebodohan kalian sudah tidak tertolong lagi!"
Alba memukul kepalaku dengan lengan mungilnya. Yang membuatku heran bagaimana bisa tangan sekecil itu menimbulkan rasa sakit yang mampu membuat kepalaku berdenyut.
"Apa kau tidak tahu kita sedang terburu-buru?" katanya sambil melirik ke arahku.
Tentu saja itu pertanyaan retoris. Karena setelah Alba berkata begitu tanah mulai bergetar. Ada sesuatu yang akan terjadi dan itu akan sangat merepotkan.
Aku berdiri dibantu oleh Hal. Tidak lebih berjarak lima meter di depanku Alba, Titania, dan gadis penakut itu juga ikut bersiaga.
"Dengar Mika," Titania mulai menjelaskan. "Mungkin kau tidak percaya ini, tapi Zephyr--gadis aneh ini bilang kepada kami kalau kau--"
Alih-alih mendengarkan Titania aku melihat ke bawah dan mendengar suara asing bergemuruh.
Dan karena itu Titania marah padaku. "Kau itu menjengkelkan sekali! Apa kau tidak mendengar perkataanku?"
"Titania, diamlah!" seruku kasar. "Apa kalian tidak mendengarnya?" tanyaku ke arah mereka.
Suara itu semakin jelas, membuat semua perhatian tertuju ke asal suara.
Tepat ketika Alba menyeru dinding kokoh muncul tiba-tiba. Hal menarikku kebelakang agar tidak terkena dampak dinding aneh itu yang muncul seketika.
"Ini buruk sekali," gumam Hal. "Kita terpisah dengan mereka."
Aku menggigit bibirku dan memukul dinding itu dengan panik. "Hey, kalian masih disana?"
Tidak ada yang menjawab.
Aku terus memukul dan menendang dinding itu sampai Hal mencekal tanganku dan menarikku mundur. "Hentikan!" katanya.
Dia membalik badanku dan membuatku berhadapan dengannya.
"Hey, Mika. Kenapa sekarang kau bersikap aneh?" Hal menatap lenganku yang memar akibat memukul terlalu keras dan meringis. "Kau yang biasanya selalu dikelilingi keberanian, 'kan?" lanjutnya.
Aku menatap wajah Hal dan menemukan ketetapan di matanya.
Hal benar, kenapa aku sepanik ini?
Apa aku dibutakan rasa takut?
Benar.
Aku tidak tahu sejak kapan, tapi saat ini aku sangat ketakutan. Kurasakan kakiku bergetar, jantungku berdenyut sakit, bahkan mataku memancarkannya dengan sangat jelas. Bahwa ada sesuatu yang lain dalam diriku.
Dengan cepat aku balas mengenggam tangan Hal dan memohon padanya, "Hal, bantu aku." Napasku mulai tidak teratur. "A-aku takut sekali."
Hal membalas perkataanku, "Mika, aku ... membencimu." Dia menghempaskan lenganku dari bajunya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya.
Tatapan kebencian tersirat jelas di matanya.
Aku tergugu, "H-Hal?"
"Selama ini aku sangat muak harus berpura-pura menjadi orang yang bisa kau sandari, aku harus membuatmu mencintaiku, membutuhkanku, a-aku ..." Hal mengusap rambutnya kasar dan menunjukkan ekspresi menyeramkan padaku. "Aku, harus membuatmu memberikanku segalanya, bahkan jika itu hidupmu." lanjut Hal diiringi seringai mengerikan.
Jika saja aku yang sekarang adalah aku yang biasanya, pasti aku akan menyumpal mulutnya dengan air menggunakan sihirku.
Jika saja aku seperti biasanya, aku akan menjawab padanya kalau aku bahkan belum dan tidak akan pernah jatuh padanya.
Jika saja, jika saja. Tapi justru sekarang itulah permasalahannya.
Dan saat ini aku malah berkata, "maaf, Hal." Seraya menundukkan kepala.
Dia mendekat padaku. Dan tanpa ada yang menduga, dengan kecepatan yang tidak terlihat, Hal mencekik leherku. Dia mendorongku menghantam dinding kokoh di belakangku.
Kedua tanganku yang bebas memukul-mukul Hal agar dia membebaskanku. Namun, perbedaan fisik kami sangat jauh.
Kakiku berusaha meraih sesuatu yang dapat kupijak tapi udara kosong yang menyambutnya.
Oksigen tidak dapat memasuki tubuhku dan mataku mulai berair.
Saat kupejam mataku dan kubuka lagi, aku melihat dinding kokoh ini ternyata tidak memiliki batas di ujung atas sana.
Dan baru kusadari ternyata lembah ini sangat indah dan luas, di kelilingi bukit-bukit rimbun yang setiap tumbuhannya berwarna putih.
Ah, jadi itu alasan tempat ini dijuluki 'Lembah Putih'.
Jantungku mulai melemah. Tangan dan kakiku juga sudah berhenti bergerak. Tenagaku sudah terkuras habis.
Biarlah. Setidaknya, aku mohom kepada-Mu Tuhan, biarkan Titani dan Alba selamat. Yah, juga beserta gadis penakut itu. Walau aku sedikit curiga dengannya.
Dan aku memejamkan mataku.
Ini benar-benar tidak pernah kubayangkan. Dimana aku ditinggalkan seluruh keberanianku dan juga teman-temanku, Hal juga mengkhianatiku. Baiklah, aku menyerah pada nyawaku.
Ya! Aku yakin aku sudah menyerah. Tapi entah mengapa aku mengatakannya, "Aku ... sendiri. Tolong aku~
Kakak."
:
:
:
:
:
:Sampai bertemu lagi di gema selanjutnya.
Salam Mawar;
Kelabu😴
KAMU SEDANG MEMBACA
Ocean Echo
Fantasy{Fantasy & (Minor) Romance} Namaku Mika. Kelas sepuluh. 15 tahun. Aku benci hujan. Hujan menyayangiku. Mereka berbisik ingin memelukku. Mungkin aku 'penyihir'. Tapi, aku tidak berbohong. Karena aku~ Bisa melihat peri. Cover by:foraneki