Kakiku sedikit gemetar, dan jantungku hampir saja putus saat Griffin yang kunaiki menukik tajam.
Terpaan angin nyaris menghempaskanku, kalau saja Hal tidak memegangiku.
"Hati-hati," Hal berdehem sesaat, "tekanan anginnya sangat kuat."
Aku hanya mengangguk--tidak berani melihat kebelakang.
Tapi sekali lagi aku hampir terjatuh, dan aku berusaha bertahan sekuat mungkin dengan meremas badan Griffin dengan erat. Jantungku berdebar kencang ketika Hal tiba-tiba saja memelukku.
Di sela-sela kuping dan rambutku yang berterbangan dia berbisik, "hanya sesaat, ini lebih aman, daripada hanya memegangimu."
Aku tidak membalas apa-apa, tapi dia tahu aku tidak menolaknya. Keheningan terjadi dalam beberapa menit hingga Alba berkata diantara leher dan telinga Titania. "Pegangan yang kuat, kita akan turun."
Setelah mengatakan itu, angin berpusar kencang di sekitar kami. Hal memelukku lebih erat dan aku berpegangan lebih kencang.
Mendadak aku seperti di dorong dari lantai tertinggi sebuah gedung besar. Peganganku sudah tidak terasa, Hal mencoba meraih tanganku tapi gagal. Angin menekan wajah dan tubuhku dengan tiba-tiba, menerjangku dengan sangat lembut. Aku terhempas, terlepas dari Hal, Titania dan Griffi-nya.
Suaraku ingin keluar, tetapi tertahan saat aku merasakan sensasi ini. Sensasi kebebasan. Di sekitar sini, diantara awan-awan, langit yang memandangku--mencemooh. Tidak ada makhluk aneh dan mengerikan, hanya kedamaian.
Aku merentangkan tanganku, menikmati waktuku. Sekejap aku melihat Hal dan yang lain sedang berteriak memanggilku, Alba mencoba mencapaiku, tapi angin mengalahkannya. Aku mengacuhkannya dan tersenyum. "Ah, menyenangkan sekali."
Pertama kalinya aku merasakan bahagia seperti ini. Sejak kapan aku tidak merasa seperti ini, ya.
Namun, sekilas bayangan menyengat pikiranku. Aku memegang kepalaku. Sebuah ingatan yang terlupakan, mencoba keluar. Ruangan putih? Tidak.
Putih-putih itu terlihat seperti, awan.
Suara dua orang tertawa, menguasai indra pendengaranku. "Lagi, lagi!" Seorang gadis berkata dengan semangat.
Tunggu! Gadis itu aku, 'kan?
Aku sedang bersama seseorang dan sedang tertawa bebas. Tidak mungkin. Seingatku, aku tidak pernah mengalami hal seperti itu.
Aku sedang digendong oleh anak laki-laki yang kuperkirakan usianya tujuh tahun.
Aku menatap punggung anak laki-laki itu. Rambutnya yang bewarna keemasan berkibar. Ada perasaan hangat dan nyaman. Tanpa sadar aku memeluknya, dan melihat senyumnya yang membuatku sedih. Aku terpaku dan berhenti tertawa. Anak laki-laki itu bertanya, "kamu tidak mau terbang lagi, ya?"
Ah, aku baru menyadari bahwa kami sedang terbang bebas.
"Aku takut." Tiba-tiba aku berbicara tanpa aku sadari, aku ingin bertanya siapa dirinya.
Tapi bibirku berbicara hal lain, tanpa sekehendakku. "Itu, akan terulang lagi."
Tiba-tiba saja aku menangis, kemudian anak laki-laki itu menurunkanku. Sesuatu yang lembut menyentuh telapak kakiku. Aku berdiri di atas awan dengan angin berpusaran kecil. Dia menatapku, tapi wajahnya terlihat kabur.
"Bunuh aku." Senyumnya terlihat jelas.
Aku menggelengkan kepalaku dan menangis lebih keras.
"Tidak apa-apa, sendirian kau pasti bisa." Anak laki-laki itu perlahan semakin jauh.
Aku mengejarnya dan terjatuh. Lalu, seperti kaset rusak kejadian demi kejadian seperti puzzel bermunculan.
Kemudian aku tersentak dan menyadari sesuatu, aku baru terhempas dari langit dan akan jatuh ke tanah. Dengan kata lain, aku ... akan mati.
~~Ocean_Echo~~
Desiran angin yang terasa dingin mengenai kulitku.
Hembusan semilir yang menyampaikan sebuah suara merdu menyengat kulitku. Aku membuka mata dan mengetahui apa yang terjadi padaku. Seseorang ... menyelamatkanku.
Aku beranjak bangkit, lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini, secepatnya.
Namun, suara manis terdengar lagi. Sulit untuk tidak di pedulikan. Aku menghembuskan napas kasar.
"Ternyata, dia tidak membiarkanku pergi, ya." gumamku.
Aku menyusuri suara tersebut. Semakin lama kian menggoda dan menghanyutkan. Rasa penasaran kian menjadi dan aku tidak bisa menyangkal itu. Bahkan, aku sempat berpikir untuk menikmati alunan merdu ini lebih lama lagi.
Tapi, tempat ini seperti labirin saja. Berliku-liku dan membingungkan.
Ketika jarakku hanya terpisah beberapa meter dengan orang yang membuat suara indah itu, aku tidak bergeming.
Gadis yang penuh dengan keganjilan diluar akal sehat tengah duduk di depanku. Namun, aku sendiri sudah menjadi keganjilan tersebut. Jadi, kuberanikan diriku lebih mendekat padanya.
Seketika suara yang menghanyutkan tadi lenyap digantikan tatapan lembut sesosok gadis kecil.
Mendadak nyanyian gadis itu seperti tidak pernah ada sebelumnya. Yang ada sekarang hanya gadis manis bermata indah. Walaupun mungkin hanya aku yang menganggapnya begitu.
Gadis berkulit putih seperti salju ini sangat aneh. Dia tidak memiliki rona merah seperti orang pada umumnya. Tapi, yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa bola matanya berwarna putih.
Bahkan dia memiliki rambut yang sangat panjang hingga menyentuh marmer gading yang terasa dingin.
Senyumannya mengalihkan atensiku. Aku menatap tepat di kedua matanya. Dia tampak terkejut tapi cepat-cepat menutupinya dengan menyelipkan sehelai rambut ke belakang kupingnya.
Gadis itu mendekat padaku, seperti angin yang datang tiba-tiba. Aku merasa sedikit takut, namun mencoba berdiri kokoh.
Saat dia berada di depanku, dengan tubuh yang lebih pendek dan kecil dariku, dia terlihat sangat mengintimidasi.
Dia membuka mulutnya--ingin mengatakan sesuatu--tetapi di urungkannya.
Gadis itu meneliti wajahku dengan wajah yang terlihat polos.
"Slay ... Vega." Ketika perkataan itu keluar dari bibir mungilnya, angin berhembus kuat dan berputar di sekeliling kami. Dia tertawa namun tidak mengeluarkan suara. Seolah suaranya hanyut ditelan angin dan dapat mengguncangkan dunia. Siapa gadis ini sebenarnya?
'Tidak perlu khawatir, aku tidak akan menyakitimu.'
Dia berbicara di dalam pikiranku dan itu membuat kepalaku berdengung nyeri. Aku berjongkok menahan sakit, tapi sebuah kalimat lolos dengan sempurna, "siapa kau?"
'Makhluk pemberani dan berada di tingkat paling rendah ... manusia. Tapi, aku sangat menyukai semangat kalian. Sampah seperti kalian memanggilku, Dewi Langit.'
"Dimana teman-temanku?" kataku dengan bersusah payah karena menahan sakit.
Dia berkata, "sangat menarik!" Gadis itu mendekat dan tersenyum menyeramkan.
'Kamu, harus tinggal bersamaku~
Makhluk busuk.'
:
:
:
:
:
:Sampai jumpa di gema berikutnya.
Salam Dewi;
Onyaw😖
KAMU SEDANG MEMBACA
Ocean Echo
Fantasy{Fantasy & (Minor) Romance} Namaku Mika. Kelas sepuluh. 15 tahun. Aku benci hujan. Hujan menyayangiku. Mereka berbisik ingin memelukku. Mungkin aku 'penyihir'. Tapi, aku tidak berbohong. Karena aku~ Bisa melihat peri. Cover by:foraneki