Sekitar jam 4 sore mobil Agam sampai di pekarangan villa. Ia segera keluar mobil, berjalan memutar dan membukakan pintu Flora.
"Aku bisa sendiri." Cegah Flora saat Agam berniat membukakan seatbelt. Flora melepasnya dengan tangan kiri dan keluar dari mobil susah payah. Bi Siti yang mendengar kedatangan mereka pun bergegas menghampiri Flora.
"Non Flora nggak pa-pa 'kan? Masih ada yang sakit? Bibi khawatir banget tadi waktu mas Agam nelfon dan bilang kalau non Flora masuk rumah sakit." Bi Siti memegangi tangan Flora, membantunya berjalan menaiki beberapa undagan sebelum sampai ke pintu utama, diikuti Agam dibelakang mereka.
"Aku udah nggak pa-pa, Bi. Cuma masih rada lemes aja."
"Ya udah non Flora duduk sini dulu biar Bibi bikinin teh." Bi Siti mendudukkan Flora di sofa ruang keluarga lalu pergi ke dapur dan melihat Agam sedang menuangkan air panas kedalam dua buah cangkir.
"Ada minyak kayu putih nggak, Bi?" tanyanya tanpa menoleh, tangan kanan Agam sibuk mengaduk dengan sendok sedangkan tangan kirinya mencelup-celupkan teh kedalam cangkir.
"Ada, Mas. Sebentar Bibi ambilkan." Bi Siti membuka laci yang ada didekat meja makan, mengambil botol minyak kayu putih berukuran sedang lalu memberikannya pada Agam.
"Buat apa, Mas? Mas Agam sakit juga?" Agam meletakkan sendok ke tempat cucian piring lalu meletakkan satu cangkir ke alasnya.
"Bukan buat saya. Tolong Bibi pijitin kaki Flora pakai minyak itu ya? Kasihan kakinya bengkak, pasti sakit banget. Sekalian ini saya udah bikinin teh buat dia." Agam menyerahkan secangkir teh beserta alasnya kepada bi Siti.
"Kenapa nggak mas Agam aja yang ngasih, sekalian mijitin kaki non Flora?" bi Siti menerima cangkir dari tangan Agam dan dibalas senyuman si pria bertubuh tinggi itu.
"Dia nggak bakal mau kalau saya yang lakuin, Bi. Jadi tolong ya?" bi Siti hanya tersenyum mengangguk mengerti sebelum berlalu dari dapur.
Agam mengikuti wanita paruh baya itu dari belakang dan duduk di kursi meja makan tak jauh dari ruang keluarga. Ia perhatikan Flora sambil sesekali menyesap teh hangatnya.
"Ini teh hangat buat non Flora." Flora tersenyum menerima cangkir dari tangan bi Siti.
"Makasih, Bi."
"Ternyata bener kaki non Flora bengkak. Sini biar bibi pjitin." Bi Siti berjalan didepan Flora, duduk disebelahnya lalu mengangkat kedua kaki mulus itu ke atas pangkuannya. Melumurinya dengan sedikit minyak kayu putih dan memijitnya perlahan.
"Udah dari kemarin-kemarin bengkaknya tapi sekarang pegel banget. Kayanya karena kecapekan. Maaf ya, Bi. Bi Siti jadi pegang kaki aku." Jelas Flora lalu menyesap teh hangat yang berhasil menghangatkan tubuhnya.
"Nggak pa-pa, Non. Bibi yang minta maaf karena kurang merhatiin non Flora dan nggak tau kalau kaki non bengkak gini. Untung tadi mas Agam bilang dan minta Bibi buat mijitin."
Flora mengerutkan keningnya mendengar nama Agam. Perlahan ia menoleh kearah meja makan dan saat itu juga, Agam memalingkan wajahnya pura-pura tidak melihat lalu menyesap teh yang masih menyisakan setengah cangkir. Agam menyibukkan diri dengan laptop yang sudah dinyalakan beberapa menit yang lalu, melanjutkan mengerjakan skripsinya.
Sesekali Flora melirik Agam sambil meminum tehnya. Sedikit tak menyangka Agam masih bertahan memberikan perhatian, mengingat dirinya selalu menanggapinya dingin. Tak bisa dipungkiri, selain perhatian, Agam juga tampan. Hidung mancung, rahang tegas serta tatapan mata elangnya pasti akan membuat wanita terpesona, didukung postur tubuhnya yang kekar dan tinggi serta rambut hitam lebatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...