Yang kangen Agam, tahan ya... next part...
Part ini special Natta dan Flora heheee....
******
Mobil Flora berhenti di depan rumahnya sekitar jam setengah enam sore. Ia segera turun dan bergegas kedalam rumah. Hari ini sungguh melelahkan dan bayangan kasur empuk sudah ada di kepalanya sejak tadi. Tangan Flora terangkat memegang tengkuk dan menggerakkan lehernya yang terasa pegal.
"Bundaaa."
Natta berlari dari ruang keluarga dan langsung menubruk Flora, memeluk perut ibunya. Wanita itu tersentak dengan tangan mengambang, tubuhnya membeku seketika. Mulutnya terbuka dengan mata melebar, melihat anaknya kini ada di depan mata bahkan sudah memeluknya.
"Akhirnya Bunda pulang. Dari tadi Natta nungguin Bunda. Natta kangen banget sama Bunda." Lanjutnya dengan suara serak, semakin memeluk Flora erat.
Lagi-lagi Flora tersentak, dadanya sesak, susah payah ia menelan saliva dan matanya pun mulai memanas. Suara Natta terdengar serak, apa dia menangis?
"N-Natta? K-kamu ngapain disini? Em-maksud Bunda, kok kamu ada disini?" Sahut Flora dengan suara berat, menahan agar pertahanannya tidak runtuh. Dan memang hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutnya, dan entah kenapa Flora merasa gugup seperti ini. Jujur ia benar-benar kaget dengan keberadaan Natta di rumahnya. Agam tidak bilang apa-apa, Dina juga.
Perlahan Natta melepas pelukannya dan mengangkat kepala. Ia masih terisak menatap ibunya dengan pipi yang sudah basah. Hati Flora teriris melihat air mata itu, tapi hatinya juga bergetar melihat senyuman Natta yang dipaksakan dalam tangisnya, senyum yang mirip dengan senyum Agam.
"Ayah lagi keluar kota, Bunda, bi Irah juga lagi pulang kampung. Jadi Natta disini dulu."
Anak itu masih menatap Flora lekat membuat ibunya salah tingkah. Flora ingin mengusap pipi basah Natta, tapi ia melihat bi Siti masuk dari pintu belakang.
"Em- ya sudah. B-Bunda mau ke kamar dulu."
Entah kenapa Flora malu jika orang lain melihatnya sedang bersama Natta saat ini. Flora juga tak tau lagi harus berbuat apa, saat ini dirinya benar-benar terkejut. Ia juga sudah tidak kuat lagi menahan air bening yang sudah mengambang. Flora juga tak ingin Natta melihatnya menangis karena anak itu pasti akan bertanya kenapa ia menangis dan Flora belum tau jawaban apa yang harus ia berikan.
Flora melanjutkan langkah menaiki tangga, ia usap sudut matanya yang hampir menjatuhkan isinya. Sesekali Flora menoleh ke belakang, melihat Natta mengusap pipinya sendiri lalu kembali berjalan ke arah ruang keluarga dan sibuk dengan crayon warna warninya.
Dina yang baru keluar kamar perlahan mendekati Natta dan menoleh kearah tangga dimana Flora masih menatap anaknya dari sana. Flora hanya tersenyum kecil pada ibunya.
Flora sebenarnya ingin memeluk Natta, mencium setiap inci wajahnya, tapi entah kenapa ia belum siap, rasa bersalah pada anak itu seolah menahan dia untuk melakukan itu.
Akhirnya Flora bergegas memasuki kamarnya, menutup pintu dan berdiri di belakang pintu. Air mata itu akhirnya luruh dengan sendirinya. Air mata kesedihan melihat Natta menangis dan air mata bahagia karena Natta ada di rumahnya. Rasa lelah di tubuhnya pun seakan menguap dalam sekejap. Hanya saja Flora bingung harus berbuat apa.
"Nattaya, anak Bunda."
Flora tersenyum sendiri dalam tangisnya. Bahkan ia terkekeh mengingat betapa gugupnya dia saat Natta memeluknya. Flora merasa seperti anak remaja yang gugup saat dihampiri gebetan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
Ficción GeneralAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...