"Sayang, udah ya nangisnya."
"Masih sakit, Bunda."
"Natta, kamu udah 10 tahun lebih loh, masa masih nangis cuma karena disuntik."
Kata-kata Agam memaksa Natta untuk diam dan memilih menyembunyikan wajahnya dipelukan Flora. Wanita itu mengusap punggung anaknya yang masih sesenggukan agar lebih tenang.
"Gam, jangan keras-keras sama Natta."
"Aku nggak keras. Kan kamu sendiri yang bilang kalau anak cowok itu nggak boleh cengeng."
"Iya, tapi kamu kan tau Natta itu takut jarum suntik. Dia nangis juga bukan cuma karena sakitnya aja, tapi karena ketakutannya juga."
"Makanya dari sekarang kita harus latih Natta biar nggak takut lagi. Sebagai anak cowok dia harus berani dengan apapun dalam hidup ini, kecuali berani sama orang tuanya, itu baru nggak boleh."
"Nggak gampang, Gam. Keberanian itu harus muncul dari diri Natta sendiri."
"Jangan terlalu manjain Natta, Flo. Bukannya dulu kamu yang ngajarin Natta buat berani makan es krim, kenapa sekarang kamu larang aku ngajarin dia ngelawan rasa takutnya sama jarum suntik?" Flora berdecak.
"Itu beda, Gam. Dan aku nggak manjain, aku cuma ngertiin."
"Sama aja."
"Beda, Agam Adhyastha. Kamu ngeyel banget sih." Geram Flora. Agam melenguh pasrah menatap Flora.
"Terus maksud kamu apa?"
"Ya maksud aku,, kamu masih ingat 'kan dulu aku juga takut sama kamu? Dan butuh bertahun-tahun untuk aku berani lagi berhadapan dengan kamu. Jadi jangan paksa Natta buat ngelawan rasa takutnya saat-saat ini, nanti biar aku aja yang pelan-pelan ngasih pengertian sama dia. Kita ini baru aja ketemu sama Natta loh, masa udah kamu ceramahin macam-macam sih."
Agam hanya menghela nafas panjang lalu mengangguk pelan. Rasanya percuma berdebat dengan Flora yang keras kepala, apalagi untuk urusan Natta.
Dan entah kenapa Agam merasa akhir-akhir ini Flora lebih moody. Sebentar kalem dan penurut, sebentar romantis dan mellow, sebentar serius, keras kepala dan mau menang sendiri. Apa ini karena efek hilangnya Natta kemarin?
Disisi lain, Natta yang sebelumnya mendengar ucapan Flora perlahan menegakkan tubuhnya.
"Memangnya Bunda dulu takut sama Ayah? Takut kenapa?" Agam dan Flora tercengang dan berpandangan sejenak, bingung harus menjawab apa.
"Eh itu,, maksud Bunda,." Flora melirik Agam, menyikut perutnya pelan agar suaminya itu membantu mencarikan alasan. Agam hanya mengangkat kedua bahunya, dia juga bingung harus mencari alasan apa.
"Ayah sama Bunda kenapa sih?"
"Eng-enggak, Ayah cuma,."
'Nattaya Hemakshi.'
"Eh nama kamu udah dipanggil tuh, Ayah tebus obat dulu ya." sambung Agam mengusap rambut Natta sebelum beranjak.
Sementara Flora mencibir Agam yang meninggalkannya dengan kebingungan mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Natta.
Saat ini mereka memang masih di ruang tunggu bagian farmasi rumah sakit. Untung sudah malam dan tidak banyak pengunjung yang melihat perdebatan kecil mereka tadi.
Untuk Natta sendiri, setelah dilakukan pemeriksaan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisinya. Natta hanya diberi suntikan antibiotik dan beberapa obat-obatan serta vitamin. Retak di kakinya juga sudah membaik, mungkin bisa berjalan seperti biasa dalam beberapa hari kedepan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...