PART 10

2.3K 114 16
                                    

Setelah menutup pintu kamar, Agam masih setia berdiri didepannya. Ia menengadahkan kepala beberapa saat lalu menunduk. Agam tak menyangka hubungannya dengan Flora saat ini semakin memburuk. Semua usahanya selama ini seperti sia-sia dan ini membuat dadanya terasa sesak. Belum juga kesalahannya pada Flora termaafkan, sekarang dia sudah melakukan kesalahan lagi. Agam menggeleng pelan.

Bukan, ini bukan kesalahanku, tapi ini kesalahpahaman. Dan bi Siti bisa membantu menjelaskannya pada Flora.

"Kenapa juga bi Siti mesti keluar dari kamar dan nggak bilang sama aku?" Agam menyisir kasar rambutnya dengan sela jari dan bergegas berjalan menuju kamar bi Siti untuk meminta penjelasan. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar suara adzan subuh. Ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 4.30.

"Astagfirullah al'adzim."

Agam mengusap wajahnya kasar, menghela nafas panjang seolah baru saja tersadar. Yah, dia sadar beberapa saat lalu sempat ingin memarahi asisten rumah tangga Flora itu. Kali ini emosinya memang sedang diuji. Agam menggeleng pelan, ia tak boleh emosi, karena bagaimanapun juga bi Siti sudah banyak membantu dan pasti dia punya alasan kenapa keluar kamar. Agam berbalik arah menuju mushola kecil didekat dapur, berharap setelah sholat ia bisa lebih tenang sebelum pulang.

***

Bi Siti baru keluar kamar saat mendengar suara mesin mobil dinyalakan. Ia mengintip dari balik tirai jendela dan melihat Agam sudah bersiap-siap. Baru saja pintu belakang terbuka, mobil Agam sudah berjalan dan menghilang keluar pekarangan. Tangan bi Siti masih mengambang dengan ekspresi khawatir.

"Tumben mas Agam pulang tanpa pamitan. Sepertinya ada yang nggak beres."

Wanita paruh baya itu kembali masuk villa dan langsung menuju kamar Flora. Bi Siti hanya membuka pintunya sedikit dan terlihat Flora masih bersandar pada punggung ranjang, melamun menatap kearah jendela. Dan saat itu juga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu antara Flora dan Agam.

Tiba-tiba bi Siti menepuk keningnya pelan lalu kembali menutup pintu kamar dari luar. Ia kembali ke kamarnya sendiri, mengambil ponsel dan mengotak-atiknya sebentar mencari nomor Agam.

"Halo, mas Agam. Mas Agam kena masalah ya sama non Flora? Duh maafin Bibi, Mas. Pasti ini gara-gara Bibi keluar dari kamar non Flora semalam karena kedinginan. Sekali lagi maafin Bibi, Mas." Bi Siti langsung menunjukkan rasa penyesalannya dengan rentetan pernyataan saat panggilannya terhubung, bahkan sebelum Agam menjawab sapaannya. Wanita paruh baya itu mondar mandir di kamarnya sambil sesekali menggigit kukunya. Ia takut Agam marah karena dari seberang telfon belum juga ada tanggapan dari Agam padahal sambungan masih terhubung. Beberapa detik kemudian terdengar suara deheman pelan dari seberang pertanda Agam akan bersuara.

"Iya nggak pa-pa, Bi. Flora cuma salah paham, dia mengira saya macem-macemin dia dan nggak percaya kalau semalem ada bi Siti juga di kamar. Tapi Bibi nggak usah khawatirin saya, justru saya malah khawatir sama keadaan Flora sekarang, dia nggak pa-pa 'kan, Bi?"

Agam yang sudah menepikan mobilnya dipinggir jalan menengadahkan kepalanya bersandar pada jok mobil. Jujur, selain memikirkan hubungannya dengan Flora yang semakin buruk, Agam juga khawatir dengan kondisinya. Memang Agam sedikit kesal dengan gadis yang sedang mengandung anaknya itu karena tak pernah mau mempercayai penjelasannya, tapi bukan sepenuhnya salah Flora juga kalau dia marah. Karena sekecil apapun trauma, pasti akan selalu menghantui hidup orang tersebut, apalagi Flora mengalamai trauma yang berat, tak mudah baginya harus sering bertemu dengan orang yang sudah memberikan trauma itu.

"Bibi belum berani nemuin non Flora, cuma tadi Bibi liat dia masih melamun didalam kamar. Tapi Bibi bener-bener nggak enak sama mas Agam. Bibi nggak nyangka kalau semuanya bakal kaya gini." Agam tersenyum getir mendengar nada penuh penyesalan dari suara bi Siti.

PUISI UNTUK BUNDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang