Dalam pandangan gelap, mataku terasa hangat. Kubuka mata perlahan melirik kearah jendela, matahari sudah naik.
Jam di ponsel menunjuk angka 7.42. Ternyata aku ketiduran setelah sholat subuh tadi.
Merentangkan tangan, menghela nafas beberapa kali secara perlahan dan meneguk air putih adalah rutinitasku setiap pagi sebelum turun dari kasur.
Tapi ada rutinitas baru sejak satu tahun lalu, memandang sejenak wajah cantik di sebuah frame foto yang aku letakkan di nakas. Wajah cantik dengan senyuman manis yang selalu menghangatkan hatiku.
Aku meletakkan kembali frame foto, bergegas pergi ke kamar mandi. Dua puluh menit sudah cukup membuat tubuhku bersih dan wangi. Aku 'kan bukan anak perawan yang suka berendam, jadi tidak perlu berlama-lama di dalam. Lagipula kulit tubuhku sudah lumayan putih untuk ukuran cowok. Warna kulit yang aku dapat dari Bunda.
Melihat bayangan tubuhku yang masih topless di cermin besar, membuatku sedikit bangga. Ternyata rutinitas ngeGym setiap pagi atau malam sebelum tidur lumayan membuahkan hasil. Otot-otot tubuhku mulai terbentuk.
'Good job, boy.'
Kaos putih dan celana jeans hitam aku pilih untuk outfit hari ini. Tapi aku tetap menyiapkan jaket yang akan aku bawa. Warna sneakers aku samakan dengan kaos. Biar matching gitu.
Dari dulu Ayah selalu bilang, sebagai laki-laki kita tetap harus memperhatikan penampilan untuk mencerminkan diri kita. Kebetulan aku sendiri juga tidak suka dengan sesuatu yang berantakan, mungkin karena sudah dibiasakan sama Bunda untuk selalu rapi. Makanya pomade tidak pernah terlewat untuk rambut tebalku agar selalu terlihat rapi dan fresh.
Sudah jam 8.20. Ah, aku sudah terlalu lama di kamar.
Kunci mobil, selembar kertas kecil dan sunglasses aku raih dari atas meja belajar. Menuju pintu, berlalu dari kamar yang dulu dominan warna biru, sekarang aku ganti dengan warna putih.
Menuruni tiap anak tangga, aku langsung menuju meja makan. Roti tawar selai cokelat aku pilih untuk menu sarapan. Menoleh ke kiri, aku melihat wanita tua yang masih terlihat sehat sedang membawa segelas susu cokelat dari dapur.
"Makasih, Bi." Aku teguk sepertiga gelas susu hangat pemberian bi Irah.
"Mau ke tempat Bunda?" aku hanya mengangguk dengan mulut penuh roti.
"Nggak sama Ayah?"
"Semalam Ayah bilang pagi ini ada meeting dulu. Nanti kita ketemuan disana."
Perut sudah kenyang, aku beranjak keluar rumah. Mobil milik Bunda sudah menunggu di depan garasi. Sejak mempunyai KTP dan SIM sebulan yang lalu, mobil putih ini menemani keseharianku. Karena Bunda tidak mungkin memakainya lagi.
'Semoga Bunda suka.'
Aku masukkan kertas yang terlipat jadi dua ke saku jaket lalu meletakkannya ke kursi sebelah. Sunglasses sudah kupakai, sekarang waktunya tancap gas.
Suara musik dari audio mobil akan menemani perjalanan jauhku ke tempat Bunda. Tapi aku mampir dulu ke sebuah florist. Aku pesan satu buket bunga mawar putih. Cukup 10 menit menunggu, buket bunga itu sudah ada di tangan. Setelah memberikan beberapa lembar uang dan berterimakasih, aku berlalu.
'Ganteng-ganteng sombong.'
'Timbang senyum apa susahnya sih?'
'Masih muda dingin banget, pasti nggak punya cewek.'
'Biasa anak orang kaya, belagu.'
Bisik-bisik terdengar suara pegawai florist yang lain dan pembeli wanita yang masih remaja. Mungkin seumuranku. Tapi aku tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...