Agam dan Flora terus menatap haru kedua putrinya. Sampai tiba-tiba senyum Flora perlahan redup, seiring genggaman Astha yang melemah. Bunyi nyaring mesin yang terhubung dengan tubuh kedua bayi mereka membuat Agam dan Flora menoleh bersamaan.
"Yah, Astha kenapa?"
"Suster!"
Dua suster yang standby didalam ruangan langsung mendekati mereka.
"Bapak Ibu tolong keluar sebentar, kami akan memeriksa mereka."
"Suster Ita, detak jantung bayi pertama semakin melemah." Kata suster yang lain. Flora dan Agam melebarkan matanya.
"Dan detak jantung bayi kedua juga mulai menurun." Sambung suster itu lagi, membuat kedua orang tua bayi itu semakin menegang.
"Sus, anak-anak saya kenapa, Sus?" kata Flora dengan bibir bergetar dan bulir kembali menetes.
"Suster Rini, tolong panggilkan dokter sekarang." Suster yang disebut namanya itu langsung bergegas keluar. Perasaan Flora semakin tak karuan melihat kepanikan perawat-perawat itu.
"Sus, mereka kenapa?" Agam yang sedari tadi susah payah menelan salivanya semakin kuat merengkuh Flora yang semakin panik.
"Bapak, tolong bawa Ibunya keluar." Perintah suster Ita.
Agam mengangguk dan membawa Flora kembali duduk di kursi rodanya walaupun ada sedikit penolakan dari Flora.
"Adhya – Astha kenapa, Yah?"
"Kita keluar dulu ya."
"Tapi,."
Tanpa suara lagi, Agam terus mendorong kursi roda istrinya keluar ruangan. Setelah melepas baju steril, mereka hanya melihat kesibukan petugas medis menangani si kembar dari luar dinding kaca.
Flora terus menggenggam tangan Agam yang berada di bahunya. Bahkan saat suster menyarankan Flora untuk kembali ke kamar, dia tegas menolak.
"Aku takut, Yah." Agam merendahkan tubuhnya, memeluk Flora dari belakang.
"Jangan berhenti berdoa ya." Lirih Agam dengan suara berat didekat telinga Flora.
Dada Agam juga sesak melihat ketegangan didalam ruangan bayinya belum berakhir. Terlebih salah satu dari mereka sempat berhenti detak jantungnya setelah dilahirkan kemarin. Dan itu membuat ketakutan dihati Agam semakin kuat.
"Bunda."
Keduanya menoleh, melihat Natta berlari mendekat, diikuti Dina yang berjalan dibelakangnya. Anak pertama mereka itu langsung memeluk Flora.
"Natta senang akhirnya Bunda udah sadar. Natta minta maaf, Bun, Natta salah. Tapi Bunda jangan pernah bikin Natta takut lagi ya. Natta nggak mau kehilangan Bunda."
Flora yang sudah membalas pelukan anaknya hanya mengangguk menangis seraya mengusap rambut Natta. Menangis bahagia karena bisa bertemu anaknya lagi. Dan menangis khawatir jika ketakutan Natta itu suatu saat akan menjadi kenyataan.
Flora melepas pelukannya, mengusap pipi basah Natta.
"Bunda udah nggak pa-pa, Sayang. Natta jangan nangis lagi ya. Lebih baik sekarang kita berdoa buat adik-adik kamu." Flora kembali sesenggukan, membuat Dina menatap mereka bergantian.
"Ada masalah apa, Gam?" Agam mengusap wajahnya sebentar.
"Si kembar, Ma. Adhya sama Astha. Mereka kritis." Dina mengikuti arah pandang Agam, melihat dokter dan suster yang masih sibuk didalam ruang NICU.
"Astagfirullah aladzim." Dina menutup mulutnya tak percaya dengan mata berkaca.
*****
Agam menunduk menyangga kepalanya dengan ujung-ujung jari yang menyatu. Dina menautkan kedua tangannya duduk disamping kursi roda Flora. Sementara Natta terus memeluk Ibunya yang tak lepas melihat situasi didalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...