Salah satu part favorit aku hahahaa
Selamat membaca....
*****
Agam meraih ponselnya yang berbunyi. Nama Dina muncul di layar. Agam hanya menatap layarnya tanpa ingin mengangkat. Wanita itu sudah dua hari ini selalu menghubunginya dan selalu Agam abaikan. Agam tau pasti Flora yang menyuruhnya.
Sudah dua hari pula Natta belum sadar dari komanya. Agam juga meminta satpam rumahnya untuk tidak memberitahu apapun jika Flora atau Dina mencari Natta. Entahlah, ia masih kecewa dan belum bisa memaafkan kesalahan ibunya Natta itu.
"B-Bun...da."
Agam tersentak seraya mengangkat kepala mendengar suara lemah dari ranjang Natta. Ia mendekat, meraih tangan anaknya.
"Natta? Sayang." Sebelah tangan Agam mengusap kepala Natta.
"Bun...da."
"Natta? Hei, ini Ayah. Kamu dengar Ayah 'kan?"
Agam kembali mencoba berbicara dengan anaknya. Senyum Agam redup seketika karena Natta tak lagi merespon. Anak itu kembali terdiam seperti sebelumnya, bahkan nafasnya terlihat sedikit tersengal.
"Natta? Susteer!" Agam yang panik segera menekan tombol pemanggil suster. Ia tak sabar dan akhirnya berlari keluar ruangan. Tak lama Agam kembali dengan seorang Dokter dan Suster.
"Tolong anak saya, Dok. Tadi dia sempat menyebut Bunda tapi kenapa sampai sekarang dia belum sadar? Dan sekarang dia malah,."
"Bapak tenang dulu. Biar Dokter memeriksa anak Bapak."
Agam duduk di sofa sudut ruangan setelah suster menyuruhnya menunggu disana. Kedua sikunya bertumpu pada paha, tangannya menutup mulut dan hidungnya, matanya tak lepas menatap kearah Natta yang sedang diperiksa Dokter. Agam berharap Natta baik-baik saja dan secepatnya sadar. Ia juga memikirkan nama yang keluar dari mulut Natta tadi. Bunda.
Agam melihat dokter sudah melepas stetoskopnya. Suster juga baru saja menyuntikkan sesuatu ke lengan Natta. Ia segera beranjak dan mendekati ranjang.
"Gimana, Dok?"
"Kondisinya saat ini lemah dan jika ini dibiarkan, kondisi anak Bapak bisa semakin memburuk." Agam menelan salivanya susah payah lalu menatap Natta sekilas sebelum kembali menatap Dokter.
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok? Saya nggak mau terjadi sesuatu sama Natta. Saya nggak mau kehilangan dia." Sahut Agam dengan suara serak.
"Tadi Bapak bilang kalau Natta menyebut nama Bundanya?" Agam hanya mengangguk.
"Lalu dimana dia?" Agam terdiam sejenak dengan wajah yang berubah dingin, kembali menatap Natta.
"Tidak ada."
"Maaf, apa beliau sudah meninggal?" Agam menggeleng pelan. Dokter berkacamata itu menghela nafas dalam.
"Kalau saya boleh menyarankan, bawalah ibunya Natta kesini. Alam bawah sadar Natta sudah memanggil Ibunya karena ikatan batin antara ibu dan anak memang kuat. Dan kehadiran Ibunya diharapkan bisa membantu mempercepat kesadaran anak Bapak. Karena bagaimana pun juga, kondisi psikologis pasien sangat berpengaruh dengan kesehatannya." Agam tertegun mendengar ucapan Dokter sebelum pria berjas putih itu berpamitan keluar ruangan.
Setelah kepergian dokter, Agam hanya terdiam menatap wajah Natta. Saran yang dokter berikan masih berputar dalam kepalanya. Jelas saran itu sangat bertentangan dengan hatinya. Tapi melihat wajah pucat Natta, membuat Agam harus berpikir beberapa kali. Ia ingin sekali melihat wajah itu kembali ceria, melihat senyum manis dan celotehan anaknya. Agam merindukan itu semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...