Sekitar jam sepuluh malam Agam baru sampai rumah. Ia masih berdiam diri di dalam mobil, bersandar pada jok dengan mata terpejam. Tangannya terangkat, merenggangkan dasi dan melepas dua kancing atas kemeja. Hari ini benar-benar terasa melelahkan bagi Agam. Selain urusan kantor, pertemuannya dengan Flora juga cukup mengganggu pikirannya. Entah apa yang ada dipikiran Flora sampai dia tak mau meluangkan sedikit saja waktunya untuk Natta.
Agam menghela nafas dalam lalu meraih jas dan tas kerja di kursi samping. Ia segera keluar mobil dan melangkah pasti masuk ke dalam rumah. Rumah sudah sepi, hanya ada bi Irah yang berjalan ke arahnya.
"Natta udah tidur ya, Bi?" ucap Agam sambil menyerahkan jas dan tasnya ke wanita yang mulai tua itu.
"Iya, Den. Tadi sepulang dari ulang tahun mas Juna, den Natta langsung tidur, kecapekan kayaknya abis main sama teman-temannya." sahut bi Irah tersenyum. Agam hanya manggut-manggut tersenyum sambil melepas kancing lengan kemeja lalu menggulungnya sebatas siku.
"Oh iya, Den. Ada yang mau Bibi omongin." Lanjut bi Irah.
"Iya, Bi. Ada apa?" sahut Agam menunda langkahnya.
"Tadi den Natta nanya-nanya soal non Flora, Bibi sampai kebingungan jawabnya. Trus di acara ulang tahun dia juga bilang pengen kaya teman lain yang ditemenin sama Mamanya. Bibi kasihan liat den Natta, sepertinya dia memang butuh seorang ibu, Den, Aden juga butuh seorang istri 'kan? Kalau non Flora nggak mau diajak nikah, kenapa Aden nggak cari perempuan lain saja buat jadi ibunya den Natta?"
Agam tertegun sesaat melihat wajah sendu bi Irah. Ia kemudian tersenyum, merangkul bahu wanita tua itu dan membawanya duduk di sofa ruang keluarga.
"Bi, aku aja nggak bisa ngasih Natta ibu kandung, bagaimana mungkin aku ngasih dia ibu tiri?"
"Maafin Bibi, Den. Bibi cuma nggak tega liat den Agam sama den Natta." Sahut bi Irah dengan suara serak, sudut matanya pun sudah basah. Agam meraih tangan wanita yang sudah merawatnya itu, menggenggamnya.
"Iya, Bi. Aku tau Bibi bicara seperti itu karena Bibi sayang sama aku dan Natta. Tapi Bibi nggak perlu khawatirin, aku nggak pa-pa. Karena prioritas aku sekarang cuma Natta, kebahagiaan dia segala-galanya buat aku." Bi Irah menoleh menatap Agam yang tersenyum getir.
"Aku juga nggak peduli kalau seumur hidup aku nanti, aku nggak akan pernah menikah. Karena aku cuma sekali merasakan jatuh cinta dan itu cuma sama Flora. Cuma dia satu-satunya wanita yang ada dihati aku, belum ada yang bisa menggantikan Flora bahkan mungkin tidak akan pernah. Karena bagaimana pun juga, ada Natta diantara kita dan aku nggak akan mungkin bisa melupakan Flora. Nggak akan bisa." Lanjut Agam semakin lirih saat mengucapkan kalimat terakhir.
Bi Irah mengangguk mengerti mendengar penjelasan Agam, walaupun air bening itu masih setia mengaliri kulit pipinya yang mulai keriput. Ia usap bahu Agam untuk sekedar menenangkan.
"Apa den Agam pernah ungkapin perasaan Aden pada non Flora?" Agam menunduk tersenyum getir, pertanyaan ini hampir sama seperti yang bi Siti tanyakan tujuh tahun lalu saat di Puncak.
"Balik lagi, Bi, prioritas aku sekarang ini cuma Natta. Flora saja belum menerima Natta, gimana bisa aku ngungkapin perasaan aku sama dia."
"Yang sabar ya, Den. Sekali lagi Bibi minta maaf. Bibi nggak ada maksud membuat Aden sedih." Agam menghela nafas dalam lalu mengangguk.
Dadanya kembali sesak setiap kali mengingat hubungannya dengan Flora. Bertahun-tahun Agam berusaha mengubur perasaannya itu. Sebenarnya ia hanya ingin menganggap Flora sebagai ibunya Natta, tidak lebih. Tapi bukan hal yang mudah jika sudah berurusan dengan hati, dan hati Agam sudah memilih wanita yang sudah melahirkan anaknya itu, bukan yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...