Sejak dibuatkan tongkat sama Kakek Ahmad, Natta jadi sering belajar jalan. Rasa nyeri yang masih terasa tidak mengurangi semangatnya walaupun baru bisa beberapa langkah. Tak jarang dia terjatuh saat mencoba berjalan tanpa menggunakan tongkat. Papan yang mengapit kakinya juga sudah dilepas, sekarang hanya beberapa balutan kain yang melingkar di engkelnya.
"Natta, Kakek senang melihat semangat kamu besar sekali untuk bisa berjalan." Natta tersenyum melihat Kakek mengusap rambut tebalnya.
"Iya, Kek. Natta pengen cepat-cepat sembuh biar bisa ketemu Ayah sama Bunda. Natta kangen banget sama mereka."
Natta dan Kakek menoleh bersamaan saat mendengar suara gaduh dari samping rumah. Suara itu ternyata ditimbulkan dari langkah cepat nenek Sari yang baru pulang dari hutan mencari tanaman obat.
Nenek meletakkan keranjang yang dia bawa keatas meja kayu secara kasar. Wajahnya juga tampak muram. Setelah duduk di kursi bambu, Nenek mengusap-usap kepalanya.
Natta dan Kakek berpandangan sebentar sebelum akhirnya mendekat. Kakek membantu Natta duduk di kursi bambu lain lalu mendekati Nenek.
"Kau kenapa, Nek? Jangan dilipat begitu wajahmu yang sudah jelek itu." Nenek mendengus.
"Kepalaku ini sedang sakit tapi kau malah meledekku!" Natta dan Kakek terkekeh mendengarnya.
"Ya sudah, memangnya kepalamu kenapa bisa sakit?" tanya Kakek lagi.
"Tadi di hutan, kepalaku kejatuhan tas milik pemburu yang sedang naik keatas pohon. Katanya dia sedang mencari sinyal net net apalah itu aku tidak tau. Yang jelas tas besar itu membuat kepalaku sakit."
"Sinyal internet kali, Nek." Sambar Natta.
"Iya itu maksudnya." Sahut Nenek. Sementara Kakek mendekati Natta duduk disebelahnya.
"Kamu tau sinyal internet itu apa?"
"Ya tau lah, Kek. Di kota, hampir semua orang udah pakai sinyal internet untuk kebutuhan sehari-harinya. Sinyal internet itu,." Natta tiba-tiba menghentikan ucapannya. Ia terdiam terlihat seperti sedang berpikir.
"Astaga, aku tau." Lanjut Natta bersemangat. Kakek dan Nenek saling berpandangan tak mengerti.
"Kek, apa disini ada warnet?" Kakek semakin bingung dengan pertanyaan Natta.
"Warnet? Apa warnet?"
"Warnet, Kek. Warung internet. Eem itu,, tempat buat kita nyari informasi lewat internet."
"Aduuh Natta. Internet saja Kakek tidak tau, apalagi warungnya. Disini cuma ada warung nasi, warung kopi dan semuanya ada di dekat kantor kepala desa sana. Kalau warung internet Kakek belum pernah lihat. Memangnya internet itu makanan seperti apa, kok ada warungnya?" Natta tak menjawab. Ia hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sepertinya percuma jelasin karena mereka tidak akan mengerti.
"Ya sudah, nanti siang Kakek ada urusan di kantor kepala desa. Nanti Kakek tanyakan orang disana ya, siapa tau ada yang tau dimana warung yang menjual internet itu." Natta mengangkat kepalanya tersenyum. Ia sedikit lega, semoga saja ada warnet di sekitar sini.
*******
Flora meletakkan tempat makanan yang sejak di perjalanan tadi ada dipangkuannya ke kursi belakang. Mobil Agam sudah berhenti di parkiran kantor polisi yang dituju, tapi Flora terlihat ragu untuk turun.
"Tunggu, Gam."
"Kenapa, kepala kamu masih sakit?" Flora menggeleng.
"Bukan. Aku cuma takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...