Pintu ruangan terbuka, Agam melihat Flora menatap kearah jendela. Menatap langit yang sebentar lagi gelap dengan tatapan kosong. Mata wanita itu masih begitu sembab dan masih ada sisa air mata yang mengering.
Agam masuk ke kamar mandi terlebih dahulu. Mencuci muka, tangan dan kakinya. Tak lama ia keluar dan mendekati ranjang. Agam mencium kening Flora lama, tapi wanita itu hanya memejamkan matanya sesaat tanpa bersuara apapun.
Dina yang duduk di kursi dekat tempat tidur Flora, perlahan beranjak seraya meletakkan segelas susu milik Flora yang belum terminum. Semangkuk bubur juga masih utuh diatas meja.
Agam menatap Dina penuh tanya dan hanya dibalas dengan gelengan kepala. Pria itu menghela nafas berat, mulai mengerti alasan kenapa Dina menyuruhnya cepat kesini.
"Mama pasti capek kan? Lebih baik Mama istirahat di rumah, biar aku yang jaga Flora disini. Sekalian aku titip Natta ya, Ma."
Dina mengangguk. Ia mengambil tas diatas sofa, menatap mata lelah Agam sebentar lalu mengusap bahu menantunya itu.
"Kamu juga jangan lupa istirahat, Gam." Agam mengangguk. Dina beralih mengusap rambut Flora lalu mencium pelipisnya.
"Mama pulang dulu ya, Flo?"
Tidak ada tanggapan apapun dari Flora, dan Dina memaklumi hal itu. Karena sejak sadar dua jam yang lalu, Flora memang lebih banyak diam setelah tau keberadaan Agam dan Natta yang tak ada disampingnya.
'Mereka sedang memakamkan si kembar.' Jawaban Dina itu benar-benar sukses membuat Flora terdiam seperti mayat hidup.
Setelah kepulangan Dina, Agam mengambil semangkuk bubur yang masih hangat diatas meja.
"Sayang, kamu makan dulu ya."
Flora bergeming saat Agam mendekatkan sendoknya. Agam mencoba lagi tapi hasilnya sama. Pria itu kembali meletakkan mangkuk keatas meja dan mengambil segelas susu.
"Ya udah, kalau kamu nggak mau makan, diminum susunya. Sini aku bantu." Lagi-lagi Flora bergeming.
Agam menghela nafas panjang, kembali meletakkan gelas. Ia duduk di tepi ranjang, meraih tangan Flora.
"Nda, kalau kamu,."
"Jadi mereka beneran udah nggak ada?" Seketika Agam terpaku mendengar sergahan cepat Flora.
Flora menoleh dan Agam bisa melihat tatapan terluka di mata istrinya.
"Anak kembar aku, dua-duanya, pergi, di waktu yang sama?" Flora mengulangi lagi pertanyaannya dengan sedikit jeda ditiap penggalan kalimatnya. Dan Agam hanya bisa tertunduk lesu.
"Sebenarnya salah aku apa sih, Gam?"
"Maksud kamu apa, Nda?"
Bulir bening kembali turun dari mata Flora. Bahkan dia terlihat menghela nafas berat sebelum bersuara lagi.
"Apa segitu besarnya dosa-dosa yang udah aku lakuin, sampai-sampai Tuhan mengambil mereka secepat ini dari aku?" Agam menggeleng cepat, menggeser duduknya mendekat.
"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, Sayang."
"Tuhan itu nggak adil, Gam!" sambar Flora cepat, menepis tangan Agam yang ingin menyentuhnya.
"DIA hanya memberi kesempatan hidup Adhya sama Astha selama beberapa jam. Dan aku? bahkan aku nggak diberi kesempatan sama sekali buat menyusui dan merawat mereka. Aku hanya dikasih kesempatan menggendong mereka, itupun disaat mereka udah nggak ada. Kenapa, Gam? Kenapa Tuhan nggak adil sama aku? Kenapa Tuhan,."
Agam langsung memeluk Flora yang sudah menangis histeris. Pertahanan Agam pun ikut runtuh detik itu juga.
"Istighfar, Nda. Kamu nggak boleh nyalahin siapapun, apalagi Tuhan. Ini semua udah takdir dari Allah yang harus kita terima." Flora menggeleng pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
General FictionAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...