Flora mengantarkan customer sampai depan pintu ruangannya saat meeting selesai. Setelah customernya pergi, dia mengedarkan pandangan untuk mencari Ina, tapi asistennya itu tidak kelihatan.
"Santi." Pegawai Flora bernama Santi yang sedang berdiri tak jauh dari ruangannya mendekat.
"Iya, Mbak."
"Apa kamu lihat Ina?"
"Oh, mbak Ina ada di lantai atas. Lagi periksa gaun yang mau dikirim ke rumah bu Rini besok." Flora manggut-manggut mengerti.
"Ya udah, makasih ya." Santi hanya mengangguk dan kembali bekerja.
Flora yang sedang membawa beberapa kertas sketsa, memutuskan untuk naik ke lantai atas. Baru menginjak tiga anak tangga, suara lantang Natta terdengar memanggilnya.
"Bundaa." Flora menoleh.
"Sayang. " Flora langsung tersenyum lebar melihat Natta dan Agam sudah berdiri didepan pintu masuk.
"Kalian kenapa kesini?"
Flora mengurungkan niat untuk ke lantai atas. Tapi saat berbalik, ujung heels yang dia kenakan tidak sempurna menginjak anak tangga. Dan detik itu juga Flora kehilangan keseimbangan tubuhnya.
"Aarrggh."
Flora terjatuh dengan perut menghantam lantai terlebih dahulu. Kertas-kertas yang dia pegang pun berhamburan.
Agam dan Natta membulatkan mata melihat kejadian super kilat itu.
"BUNDAA!"
"FLORAA!"
Sandal Flora yang masih dipegang Natta terlepas begitu saja. Keduanya segera berlari mendekati Flora yang merintih kesakitan di lantai sambil memeluk perutnya. Semua pegawai juga langsung mendekat mendengar teriakan mereka.
"Aarrgghh sakiitt."
"Astagfirullah aladzim, Sayang." Agam langsung melipat kakinya, memangku kepala Flora. Natta juga sudah menangis bersimpuh disamping tubuh Ibunya.
"Bundaa."
"Sa-sakiiit banget." Hanya itu yang keluar dari mulut Flora disela rintihan kesakitan dan cengkeraman kuat pada baju Agam.
Pandangan mata Natta melihat sesuatu mengalir di kaki Ibunya.
"Ayah, darah." Dengan mata memerah, Agam melihat darah mulai mengalir disela kaki Flora. Perasaan pria itu semakin berkecamuk.
"Bertahan, Sayang. Aku mohon bertahan. Kita akan segera ke rumah sakit."
Dengan tangan gemetar, Agam mengangkat tubuh Flora. Langkah panjangnya berjalan cepat keluar butik diikuti Natta. Agam menyuruh Natta duduk di kursi belakang untuk memangku kepala Flora yang dia baringkan disana.
Tanpa suara Natta mengikuti apapun perintah Ayahnya. Tangan anak itu sesekali mengusap air mata dan peluh di wajah Flora.
"Bunda yang kuat. Bunda jangan nangis. Ada Natta sama Ayah disini."
Dalam kesakitannya, Flora mencoba membuka mata, menatap Natta yang sudah berlinang. Satu tangannya menggenggam tangan Natta untuk sekedar menguatkan walaupun rasa sakit itu tidak pernah mau berkurang, bahkan semakin kuat menghantam perutnya.
Walaupun Flora tidak berteriak atau sekedar merintih, tapi genggaman kuat Ibunya menyakinkan Natta bahwa saat ini Flora sedang menahan sakit yang teramat sangat. Terlebih keringat semakin deras membasahi wajahnya.
"Ayah, cepetan, Yah! Bunda makin kesakitan!"
Sesekali Agam menoleh ke belakang dengan tangan terulur menyentuh tangan Flora. Tidak ada kata yang terucap, karena tenggorokannya terlalu tercekat dalam situasi genting ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI UNTUK BUNDA
Ficción GeneralAku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas kukatakan, "Bundaku masih hidup. Beliau amat sangat cantik dan tentu saja sangat sehat tidak kurang...