PART 47

1.2K 88 41
                                    

Semakin hari daya ingat Flora semakin menurun. Ia sudah melupakan banyak hal, termasuk pekerjaannya di butik. Dan Agam menyerahkan semua urusan pada Ina untuk mengelola.

Flora juga sudah lupa dengan penyakitnya. Ia hanya menjalani hari-hari yang dijalani seolah semua baik-baik saja. Saat melupakan sesuatu pun, Flora menjadi lebih penurut dan akan langsung percaya saat Agam menjelaskan tanpa banyak bertanya lebih jauh.

Sedangkan Natta?

Anak itu sepertinya belum bisa menerima penyakit yang diderita Ibunya. Saat di depan Flora, Natta memang sebisa mungkin bersikap biasa saja. Tapi saat sendiri, Agam sering melihat anaknya itu melamun. Bahkan sekarang Natta mudah meneteskan air mata saat melihat Flora tertidur.

Di sekolah pun Natta sudah tidak seceria dulu. Melamun dan menyendiri sepertinya sudah menjadi hobi baru. Sampai-sampai Alex kesal sendiri karena sudah satu minggu ini seperti kehilangan sahabatnya. Padahal meja mereka sebelahan.

Natta yang selalu kesal dan berujung perdebatan jika kursi favoritnya diduduki, sekarang lebih memilih duduk di kursi yang lain tanpa bersuara.

Alex yang biasanya harus berkerja keras memaksa Natta hanya untuk mendapat contekan PR, sekarang hanya sekali meminta, PR Natta sudah ada di depan mata.

"Aaarrgghh!"

Alex mengacak-acak rambutnya frustasi, membuat murid-murid di kantin melihatnya aneh.

Merasa diperhatikan, Alex meminum sisa es jeruk di meja kemudian beranjak membeli satu botol minuman sari buah dan roti.

Alex membawanya ke dalam kelas. Ia tertegun sejenak melihat Natta masih melamun di kursinya. Sudah beberapa hari ini Natta jarang keluar kelas saat istirahat.

Alex duduk berbalik di kursi depan Natta, meletakkan botol minuman dan roti diatas meja.

"Woii! Ngelamun mulu. Nih makan, minum. Biar ada tanda-tanda kehidupan di tubuh kamu." Suara yang sedikit keras cukup mengagetkan Natta.

"Makasih, Lex. Tapi aku nggak lapar."

"Dari istirahat pertama sampai kedua nggak jajan apa-apa, mana mungkin nggak lapar. Nih ambil, roti isi cokelat kesukaan kamu." Alex mendorong rotinya, tapi hanya dibalas dengan gelengan kepala.

"Ck. Ngeyel banget sih ni bocah. Kamu itu bukan anak yang lahir dari kinderjoy, Nat. Tapi anak orang, jadi butuh makan. Buruan sikat!" Natta masih bergeming. Kali ini Alex menggeser botol minuman sari buahnya.

"Kalau nggak mau makan, minum aja deh." Lagi-lagi Natta menggeleng.

"Ya Tuhan ampunilah." Alex mengacak-acak rambutnya sendiri.

Seperti mendapat ide baru untuk membujuk, Alex kembali menarik botol minuman agar lebih dekat dengannya. Menatap botol itu intens seperti seorang arkeolog yang sedang meneliti bebatuan.

"Coba lihat, Nat. Ini minuman masih ada embun dinginnya gini. Beuh pasti segar banget kalau ngalir di tenggorokan kamu yang kering kerontang. Apalagi gratisan, uuugghh rasanya itu bakal berlipat-lipat lebih manis daripada yang beli sendiri. Coba deh kalau nggak percaya." Natta tersenyum tipis melihat ekspresi Alex memperagakan, seperti model iklan minuman di TV.

"Ya udah kamu aja yang minum."

Gubrak.

Alex menghela nafas panjang, mengendalikan emosinya. Sahabatnya ini memang keras kepala dan menyebalkan kalau sedang ada masalah.

Alex menggeser semua barang di meja lalu melipat kedua tangannya disana.

"Nat, udah tujuh hari tujuh malam aku tahan-tahan buat nggak nanya ini sama kamu. Tapi kayaknya hati aku udah nggak tahan deh." Natta mengerutkan kening mendengar ucapan Alex yang dramatisir.

PUISI UNTUK BUNDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang