Part 9

979 60 2
                                    

“Ayah pulanggg,” suara teriakan dari pintu tidak membuat mereka berempat berhenti dari melakukan aktivitas masing-masing.

Keempatnya sudah tidak asing melihat kebiasaan ayah Clarissa ketika hendak memasuki rumah. Jika ingin mengetahui dia datang atau tidak, tidak perlu menggunakan bel cukup siapkan telinga kalian sebaik mungkin dan rasakan teriakan mengelegar nya.

“Yah oleh-oleh mana?” Clarissa langsung menodong ayahnya yang baru saja hendak mencium keningnya.

Bunda nya hanya dapat tersenyum geli melihat raut wajah kesal terpancar di wajah suaminya itu.

Bagaimana mungkin anaknya langsung meminta oleh-oleh tanpa terpancar raut wajah bahwa ia merindukannya padahal ia mengerjakan urusan kantor bukan seminggu dua minggu tapi satu bulan garis bawahi kata itu.

“Tuh di dalam mobil, ayahnya gak dicariin oleh-oleh mulu yang diutamain,” kesal ayah Clarissa.

“Oleh-oleh bisa dimakan yah, kalau ayah mah enggak udah gitu keras lagi,” canda Clarissa.

“Yaudah makan tuh oleh-oleh awas nanti ngajak ayah ngomong ya,” Ekspresi ayahnya Clarissa mangkin masam saat pelukan yang ia inginkan tak kunjung diberikan oleh sang buah hati.

“Bercanda, makanya ayah jangan pergi mulu ih kan Risa kangen.” Clarissa menghambur ke dalam pelukan ayahnya.

Ayahnya dengan sigap memeluk Clarissa. Dia benar-benar merindukan keluarga kecilnya ini. Termasuk wanita yang sejak kecil selalu ia rawat dari yang dulu hanya bisa tersenyum memamerkan giginya yang belum tumbuh sempurna hingga kini tumbuh besar bahkan sudah mengerti apa itu cinta.

“Nah udah selesai sesi peluknya sekarang Risa mau ambil oleh-oleh dulu,” Clarissa berlari dengan tidak sabaran menuju mobil. Pada saat-saat seperti ini tampaknya kakinya baik-baik saja terbukti hanya dalam beberapa detik ia bisa sampai ke mobil.

Ayahnya hanya bisa menghela napas melihat kelakuan putrinya itu.
Baru saja ayah Clarissa hendak memeluk istrinya. Rendi dan Deni dengan sigap menghalangi.

“Om kita masih dibawah umur nih gak malu apa?” ucap Rendi.

“Yaudah pergi sana, om juga beli oleh-oleh untuk kalian.”

“Om mah peka ya pantes tante betah.” Deni cengengesan.

Keduanya lantas menuju Clarissa meninggalkan kedua orang tua yang sedang ingin melepas rindu itu.

Di kedua tangan Clarissa dipenuhi dengan tas makanan karena tidak muat ia bahkan sampai mengigit salah satu tali tas.

Diikuti Rendi dan Deni yang terlihat tidak menenteng apapun. Bisa di tebak bahwa seluruh oleh-oleh dikuasai oleh Clarissa. Raut wajah puas terpancar diwajahnya.

Usai meletakkan oleh-oleh di meja. Clarissa memerhatikan Rendi dan Deni lekat-lekat. Yang diperhatikan hanya dapat menampilkan ekspresi bingung.

“Karena Rendi putih gue kasih dia jam tangan warna hitam, dan untuk Deni warna coklat.” Clarissa menyodorkan masing-masing kotak berisi jam tangan kearah mereka satu persatu.

“Thanks beb,” ucap Rendi.

“Sama-sama sayang,” balas Clarissa.

“Kok gue jadi pengen nampol lu berdua ya,” geram Deni disertai tawa keduanya.

“Udah pergi gih besok sekolah jangan telat,” ucap Clarissa meghantar keduanya hingga keluar rumah.

“Oke,” jawab Rendi.

Tak lama setelah mobil mereka lenyap dari halaman muncul mobil hitam yang biasa dibawa oleh abangnya, diikuti dengan bang Hendrick yang turun dari mobil.

Dengan santai ia berjalan menuju Clarissa namun saat berpapasan tangannya sangat ringan menjitak kepala Clarissa.

Memiliki abang dengan tingkat kepedean tinggi dan tingkat kesombongan akut memang menyulitkan.

Tetapi adakalanya abangnya yang tidak bisa di andalkan ini Clarissa butuhkan, untuk memasakkan agar-agar, untuk menjadi supir dadakan walau harus diiming-imingi dengan uang bensin, jika sifat malaikatnya sedang muncul maka dia tidak segan membantu mengerjakan pr.

Namun jika sifat iblis yang muncul maka tandanya persiapkan diri untuk beradu mulut.

“Woi nyong udah makan belom?” tanya Hendrick pada Clarissa dengan tampang tidak bersalah.

“Untungnya gue udah makan bang kalau belum mungkin waktu lo baru keluar dari mobil udah habis gue buat,” sahut Clarissa judes.

“Busettt dah ini adek gue kan ya?” tanya Hendrick.

“Kaga bang ini gue peliharaan.” Clarissa semakin sebal.

“Seloww neng ngegas mulu.” Hendrick melemparkan bantal sofa yang langsung ditangkap oleh Clarissa.

“Oh baru pulang ngajak berantam?” ucap Clarissa.

“Mentang-mentang punya duit beliin anak sembarangan?” sahut Hendrick seperti iklan di TV yang pernah ia tonton.

“Malah ngiklan,” Clarissa melempar dengan  kuat bantal sofa.
Bantal itu tepat mengenai kepala Hendrick membuatnya mengelus-elus kepala bekas lemparan Clarissa itu.

“Ampun dek ,” Hendrick meraung-raung saat dengan ganasnya Clarissa mencubiti tangannya kecil-kecil.

“Ngeselin lagi gak?” tanya Clarissa memastikan.

“Enggak abang jadi abang yang baik kok,” Hendrick mencoba meyakinkan.

“Halah paling bertahan seminggu doang,” sahut Clarissa tidak percaya.

“Emang iya,” Hendrick merutuki mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi disaat-saaat genting seperti sekarang.

Saat Clarissa lengah Hendrick mengambil langkah seribu menuju bunda.

Tempat yang paling aman di belakang punggung ibu nya karena Clarissa tidak akan melayangkan semua benda yang ada ditangannya kearah mom.

Dan Hendrick sama sekali tidak bisa memprediksi barang apa yang dibawa oleh gadis ganas itu.

Terbukti saat Clarissa membawa kertas tebal berisi skripsinya yang tebalnya melebihi bangunan tujuh tingkat.

“Mau lo apaain dek?” tanya Hendrick mengintip apa yang hendak dilakukan Clarissa dari balik punggung mom.

“Mau gue bakar bang, mau bantuin bakarnya gak?” tanya Clarissa mengangkat tinggi-tinggi skripsi itu.

“Jangan dong, nanti kalau abang gak lulus gimana?” tanya Hendrick yang dibalas pandangan acuh tak acuh oleh Clarissa.

Bunda mereka hanya diam menyaksikan tanpa berniat ikut campur. Ia hanya ingin melihat bagaimana cara keduanya untuk mengatasi konflik yang terjadi diantara mereka.

Dan bunda mereka rasa Hendrick cukup pintar untuk mengetahui betapa berharganya skripsi itu begitu juga dengan Clarissa, anak perempuannya itu hanya ingin menakuti abangnya.

“Clarissa adek abang yang manis, maafin abang ya besok kita jalan-jalan gimana?” Rayu Hendrick.

“Hmmm gimana ya?” Clarissa seolah-olah sedang berfikir.

“Ayo dong , sekalian abang traktir mau gak?” Hendrick menambahkan iming-iming berharap adiknya itu tergiur.

“Oke boleh,” Dengan senang hati Clarissa mengembalikan skripsi itu dan berjalan menuju lantai dua dengan gembira terdengar senandungan lagu bahasa asing dari mulutnya.

Hendrick menghela napas lega, tadi itu benar-benar suasana yang menegangkan skripsi yang ia kerjakan dengan peluh dan semangat hampir saja menjadi abu ditangan adiknya sendiri juga disaksikan dengan kedua matanya.

Mom terkekeh geli melihat ekspresi anak laki-lakinya  itu.

“Traktir adek pakai uang bulanan abang ya, jangan minta ke bunda lagi.” Ia menepuk bahunya pelan lantas bergegas menuju dapur kembali menyelesaikan urusan disana.

Memang sifat Clarissa yang keras kepala sangat mengikuti dirinya. Paling tidak ia berharap bahwa kisah cinta Clarissa nanti tidak mengikuti kisah cintanya yang rumit.

Confusing Of LOVE (Bersambung, Tidak Tau Kapan Dilanjutkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang