Chapter Dua Puluh Empat

3.4K 259 8
                                    

Gritte POV

"Astagfirullah, Prilly.. Kamu kenapa nak?" suara teriakan khas emak-emak itu bikin gue langsung menoleh keasal suara. Ternyata ada bunda Prilly yang kelihatannya baru sampai diposko bencana.

Gue pernah beberapa kali ketemu sama bunda Prilly dan ngobrol banyak dengannya waktu gue lagi sering-seringnya main ke rumah Prilly. Dari situ gue udah bisa menyimpulkan, kalau bunda Prilly ini sangat ekspresif sama kayak gue tapi beda sama anaknya. Prilly lebih terlihat angkuh, ketus, dan fokus sama pelajaran sedangkan bundanya lebih mengekspresikan apa aja yang dia rasakan dan bisa gue lihat juga kalau hidup bundanya lebih mengalir dari pada putrinya sendiri.

Emang sejak badai berhenti lima jam yang lalu, beberapa anak langsung menghubungi orang tuanya masing-masing termasuk gue. Dan tim sar udah sesegera mungkin mulai mencari Ali yang masih sampai saat ini belum juga ditemukan. Entah dimana kiranya pujaan hati gue yang ternyata pacar sahabat gue sendiri itu.

Sedangkan Prilly masih dalam keadaan yang sama dari lima jam yang lalu itu. Dia masih sesegukan dalam pangkuan gue, malah tadi dia bersikeras buat ikut mencari Ali bersama tim sar. Untung aja atas bujukan serta sedikit ancaman dari gue dan beberapa orang guru, bisa meluluhkan hati Prilly supaya dia gak memaksakan diri buat ikut mencari keberadaan Ali ditempat kejadian. Bukan apa-apa, para guru takut Prilly justru malah menghambat pencarian Ali, disamping keadaan yang masih belum memungkinkan untuk orang biasa tanpa pelatihan khusus melewatinya, tangisan Prilly yang gak mau berhenti juga menjadi faktor penyebab tim sar dan para guru tidak mengijinkan dia ikut mencari Ali. Walaupun perlu kerja ekstra buat membujuk dia tapi terbukti hasilnya berhasil.

"Prilly kenapa, Te?" tanya bunda Prilly yang udah ada dihadapan gue dengan wajah cemasnya. Percaya gak percaya gue juga ikut cemas lihat Prilly yang terus-menerus nangis, padahal air matanya udah tinggal sedikit tapi tetep aja gue gak bisa bujuk dia buat berhenti nangis.

Gue diam gak tau harus jawab apa sama bundanya Prilly. Gue takut salah ngomong yang bikin keadaan makin runyam, dan gue rasa diam adalah keputusan yang paling benar untuk gue ambil sekarang.

Prilly bangkit dari pangkuan gue setelah menyadari bundanya datang buat dia. Mata sembab, hidung merah, ditambah air mata terus mengalir udah kayak air mancur, bikin gue langsung menobatkan dia sebagai zombie bernyawa detik ini juga.

"Kenapa, sayang?" kata bunda Prilly sambil menyeka air mata putrinya. Ini peristiwa ibu dan anak yang bikin gue ikut terharu melihatnya.

"A.. Ali bunda." kata Prilly terbata, tanpa berkata lagi dia langsung menubruk tubuh bundanya dan menenggelamkan wajahnya disana. Mungkin saat ini pelukan seorang ibulah yang dia butuhkan untuk lebih menenangkan dirinya.

Hati gue serasa disobek-sobek pakai cerulit waktu dengar tangisan Prilly yang kembali pecah dalam pelukan bundanya. Sesedihkan itu kah dia saat ini? Gue gak bisa tahan buat gak ikut nangis bareng dia, walaupun tangisan gue masih bisa gue kontrol dari pada tangisan dia.

Tangan gue terulur ikut mengusap punggung Prilly seakan memberi kekuatan pada sahabat gue yang lagi rapuh saat ini. Bahkan gue lihat bundanya pun ikut menitihkan air mata melihat putrinya dalam keadaan seperti ini.

"Ali baik-baik aja, sayang. Jangan khawatir. Ali anak yang kuat, dia gak mungkin kalah cuma karena ombak kecil."

Gue natap wajah bunda Prilly yang sudah sedikit diwarnai kerutan. Gue bisa lihat kalau diraut wajahnya gak sedikit mencerminkan kalau dia juga gak yakin Ali bisa selamat. Ombak itu gak kecil seperti yang di bilang bunda Prilly tadi, itu ombak besar yang bisa menewaskan siapa saja yang bermain-main dengannya. Asli bunda Prilly lagi bohong sekarang.

"Ali pasti kuat, Prill. Percaya sama gue." tambah gue supaya lebih meyakinkan Prilly meskipun gue sendiri gak yakin sama apa yang baru aja gue katakan.

APL (1) APRILL (Ali, I Love You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang