"Nomor Telepon"

5.4K 241 7
                                        

Cinta memang sederhana, namun bukan berarti mudah.

☕☕☕

Bel pulang benar-benar sudah berbunyi. Awalnya para murid mengantuk berat, bahkan hampir tertidur. Namun setelah suara bel menggema di telinga mereka, matang seolah-olah terbuka lebar. Batinnya meloncat, jiwanya melayang, dan senyum manis terselip di wajah mereka semua.

Memang siapa yang tidak bahagia mendengar suara bel pulang sekolah di kala jam pelajaran terakhir yang membosankan. Mungkin hanya orang ber-IQ langit yang membenci suara itu.

Jangankan murid, banyak guru juga yang lega mendengar bel pulang. Lelahnya mengajar dan menjelaskan selama jam sekolah membuat mereka ingin istirahat pastinya. Jadi tidak heran kalau batin semua penghuni sekolah melonjak karena suara itu.
Entah mengapa, bel pulang adalah suatu hal yang spesial. Yang ditunggu, dicari, diminati, disenangi, disukai, dicintai, dan dibanggakan murid. Suaranya yang merdu, membangun semangat untuk cepat keluar dari kelas.

Tapi, kenapa membahas bel sekolah? Ya ampun.

Ridan mengumpulkan buku-buku pelajarannya. Dengan sigap, tetapi Icha lebih cepat ternyata. Selang beberapa detik guru keluar, gadis itu langsung melesat keluar kelas. Tidak tau kemana. Tapi, Ridan tidak peduli. Susah membujuk Icha, gadis aneh itu.

Sejenak dia melihat ke depan, Ribka hanya diam. Tidak membereskan buku-bukunya yang berantakan. Ingin Ridan menghampiri gadis itu, tapi rasanya dia tidak enak. Mungkin karena sadar, bahwa dia sudah benar-benar membuat sakit hati Ribka.

Ridan menggeleng dengan cepat. Dia pikir tidak ada gunanya berlama-lama memikirkan antara Ribka dan Icha. Sekarang dia hanya ingin tahu keberadaan sahabatnya, Natalie. Benar dia merasa bersalah sudah menyalahkannya tadi.

Dia mengacung tasnya, lalu beranjak menuju pintu. Langkahnya santai, dia tahu tidak ada sesuatu yang sedang dia kejar. Namun, langkah lelaki itu terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Suara yang pelan, tapi bisa didengar jelas oleh Ridan.

"Ridan!"

Dia berhenti sejenak, lalu menoleh ke belakang. Itu suara Ribka, suara gadis yang kini berdiri dengan tatapan layu ke arah Ridan. Wajahnya ingin menyuguhkan senyum, namun ragu dan memilih untuk menahan senyumnya. Dia takut Ridan tidak membalas senyumnya.

"Apa?" ujar Ridan dengan wajah datar.

"Gue boleh ngomong sesuatu sama lo?" katanya.

Ridan mengangguk, "Boleh!"

Ribka menarik napas, lalu berjalan mendekati Ridan yang tangannya berada di saku celana. Matanya melihat Ribka dengan bingung. Dahinya berkerut dan alisnya hampir bersentuhan.

Sesampainya Ribka di hadapannya, dia menengadah ke wajah Ridan yang tampak sangat tinggi. "Soal tadi pagi, gue mau minta maaf."

"Lo ga salah. Gue ga pernah denger lo jelek-jelekin Icha."

Ribka tersenyum kecil, hatinya sedikit lega. "Syukurlah lo ga berpikir gitu. Tapi, gue ada satu hal lagi yang perlu gue bilang. Tapi lo janji ya, ga berpikir kalau ini fitnah!"

"Iya iya!" balas Ridan cepat.

"Bener adanya kalau Natalie ga salah soal tadi pagi. Dia datang cuma mau nyelamatin gue yang disudutin sama Icha di deket gudang. Dan sebelum lo datang, Icha nampar Nata!" jelas Ribka.

Ridan terkejut bukan main, matanya membulat dan tatapannya berubah menjadi aneh. Lelaki itu menggeleng pelan, "Lo bilang apa?"

"Eh- ya itu! Icha emang nampar Nata!"

Mr. Ice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang