"Di Lorong Itu.."

6.2K 251 3
                                    

Bisakah kau melengkapi tiap embusan napasku? Bisakah kau menemani langkah-langkah kecilku?

☕☕☕

Revin memutar bola matanya ketika mendengar suara bel masuk. Dari sudut pandang matanya, dia bisa melihat Pak Johan baru selesai memencet bel yang bertombol merah itu. Lalu berjalan sangat lambat ke meja kerjanya.

Lelaki itu terdiam dengan lesu. Dia sekarang duduk di sebuah sofa berwarna abu-abu di ruangan yang dipenuhi gantungan piagam dan beberapa hiasan dinding kuno. Ada juga beberapa peralatan sekolah yang tersususn di lemari kaca yang menghadap pintu.

Di sinilah tempat terkutuk yang sering digosipi oleh murid-murid SMA. Namanya cukup menggiurkan, khas, dan singkat. "RUANG BK"

Revin bersandar, mencoba lebih santai. Dia tidak ingin terlihat sangat kaku, apalagi dia sudah biasa masuk ke dalam sini. Walaupun bukan karena masalah, tapi karena ada urusan dengan Pak Thomas yang memang sering berbaring di sofa ruangan ini.

Sesaat setelah Pak Johan mengistirahatkan dirinya di kursi miliknya yang beroda, masuklah seorang gadis dengan wajah yang pucat. Siapa lagi kalau tidak Natalie, setelah diberitahu oleh Haydar, dengan kekuatan seribu kilat dia berlari ke sini. Tidak mau menambah masalah lagi dengan si buncit berkumis.

Pak Johan mengeluarkan senyumnya, lalu mengalihkan pandangan ke Revin seraya mengisyaratkan agar gadis itu duduk di samping Revin. Sekejap, Nata memandang Revin dengan tatapan kesal. Karena dia ada di sini, gara-gara Revin.

Sejurus kemudian, dia berjalan dan mengambil posisi duduk di sebelah lelaki yang menjadi trouble maker. Bisa-bisanya Revin sebegitu tenang di balik Nata yang hampir kehilangan detak jantungnya.

Pak Johan mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jari tangan kanan miliknya yang besar. Lalu mendeham keras, membuat kedua murid itu mengarah kepadanya.

Dasar buncit! Umpat Nata di hati.

Natalie membidik pandangan yang paling tajam kepada Pak Johan, dan sialnya guru itu malah membalas tatapan itu. Memang Pak Johan, dikenal baik oleh murid karena sifatnya yang tidak akan kalah. Dari segi memberantas kenakalan murid yang tidak ada reda-redanya.

"Saya tadi memanggil kalian berdua, tapi kalian lari dan meninggalkan saya? Iya kan? Kamu dengar saya Revin? Natalie Sanjaya?" kata Pak Johan.

Revin dan Nata memilih diam, mereka tidak membalas perkataan Pak Johan sekalipun. Mereka malah asik mengamati hiasan dinding dan beberapa artefak yang berada di ruangan terkutuk itu.

"Natalie Sanjaya! Revin Winata!" teriak Pak Johan seraya menggertak meja dengan kuat, membuat keduanya terbelalak ngeri.

Natalie merinding seketika, perasaannya tidak enak. Berbeda dengan Revin yang terkejut seraya menaikkan sebelah alis, seperti baru meremehkan Pak Johan. Dan itu membuat Pak Johan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jawab!" perintah Pak Johan dengan suara yang mulai mengecil.

"Iya pak!" jawab Natalie.

"Nah, berikan pada saya alasan logis kenapa kalian lari?" tanya Pak Johan lagi.

Revin mengembuskan napas berat, dia lelah berurusan dengan Pak Johan untuk hari ini. Mulai dari masalah dengan Gibran, sampai karena lari dari panggilan si buncit.

Bagi Revin, ini bukan hal yang pantas untuk dipermasalahkan dengan guru. Pasalnya, banyak murid yang melakukan hal ini setiap hari. Disuruh untuk membuang sampah, malah lari dan tidak kembali. Ini wajar, anak SMA wajar melakukannya. Karena ini adalah jenjang terakhir sebelum masuk ke jalur derasnya perguruan tinggi.

Mr. Ice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang