Cinta mengajarkan makna yang tak seindah katanya.
☕☕☕
Dika menoleh pada Shalsa yang asik menyanyikan lagu "Hello" dari Adele. Lelaki itu mendelik, dia sebenarnya hanya ingin menenangkan pikiran saat ini daripada mendengar Shalsa bernyanyi. Atau mendengarkan lantunan gitar dari Jhuna mungkin lebih baik. Namun sayangnya, Jhuna sedang menyibukkan diri untuk besok, yaitu permainan basket. Dia ragu Lalau Jhuna akan memenangkan perjanjiannya dengan Revin.
Dengan kuat, Dika mengetuk meja yang berada di ruang musik. Mengisyaratkan agar semua anggota Black Hole menaruh perhatian padanya. Benar adanya, semua anggota yakni; Levi, Shalsa, dan Rahmat menoleh padanya dengan spontan.
"Kayanya kita harus nyelamatin Jhuna deh!" usulnya dengan kuat, membuat semua temannya terheran.
"Ogah!" sahut Rahmat. "Paling imbasnya ke gue juga. Amit-amit!"
Shalsa tertawa pelan mendengar perkataan Rahmat dan raut wajah lelaki itu yang sangat cemberut. "Kodratnya sahabat emang saling bantu. Masa iya lo kesel gara-gara digosipin gitu doang? Lagian Nata juga pasti punya hatilah, ga mungkin nyebarin gosip gitu kan?"
"Ini gue serius! Kalau Revin menang, masa iya lo biarin si Icha putus dari sahabat kita? Ya you know lah, yang bikin kita famous gini kan Icha juga."
Rahmat memutar bola matanya kesal, memukulkan stick miliknya ke drum sebagai tanda kesalnya karena mereka tidak mengerti apa yang dirasakan oleh dirinya. Sedang Levi hanya diam karena merasa bersalah juga. Dia yang tidak cari tahu masalah semeja Natalie.
"Jadi rencana lo emang gimana?" kata Shalsa.
"Kita ganggu Revin biar dia ga bisa datang ke aula nanti malem. So, itu pasti bakal biat dia gagal seratus persen. Iya kan?"
"No!" Shalsa menggertak kuat. "Lo ya! Gue itu malah ga sabar banget lihat Revin tampil. Bodoh lo ya? Ga punya hati? Lagian lo pada bilang kalau Nata sama Revin jadian."
"Ya kali gue ga punya hati, cuma usul juga. Emang sih, Beno bilang gitu. Tapi bisa aja boong." pekik Dika.
"Jadi orang kok urus banget?" Shalsa mencibir kesal, kemudian bersandar ke dinding seraya menutup matanya, mencoba menenangkan pikiran.
Biasanya, ketika mereka latihan begini, ada Jhuna dengan lantunan gitar khas yang membuat merwka semua merasa di udara. Tapi kali ini, Jhuna sedang mempertahankan Icha. Walaupun sahabat-sahabatnya itu tahu, kemampuan basket Jhuna itu tidak pantas dibandingkan dengan Revin.
Dika menaikkan alisnya, kemudian menatap Levi yang sedang mengikat tali sepatunya sebelah kiri. Lalu Dika bersiul pelan, mencoba memanggil Levi. Namun Levi tidak peka dengan isyarat yang satu itu, membuat Dika harus memanggilnya dengan lebih kuat.
"Oy Lepi!" panggilnya.
Levi menoleh. "Levi, bukan Lepi! Lo pada bisa paham ga sih nama gue di akte gimana?"
"Iya, terserah! Temenin gue ke toilet!" kata Dika.
"Lah, ke toilet bedua ngapain?" sergah Rahmat.
"Kampret lo! Yaudah ayuk!"
Levi mengangguk, kemudian melenggang mengikuti Dika yang sudah berjalan duluan menuju luar ruangan. Dengan cepat mereka sampai di lorong yang lebih sejuk daripada ruangan kedap suara khusus musik itu.
"Sahlsa ga asik banget kalau diajak kompromi gini. Maksud gue kan baik, buat nolongin sahabat kita." jelas Dika.
Raut wajah lelaki itu tampak kesal karena Shalsa malah oro terhadap lelaki basket yang memang menawan itu. Tapi menurut Dika, menolong Jhuna itu lebih penting daripada menghabiskan waktu untuk melindungi Revin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Ice (END)
Teen FictionCerita tahun 2018, masih menye-menye banget. Please jangan dibaca lagi!!!