Cinta itu ibarat mawar yang mekar. Karena indah, kau akan menyentuh bunga itu tanpa peduli pada duri di tangkainya.
☕☕☕
Natalie melirik ke arah jam dinding besar berwarna hitam yang tertata di dinding rumahnya. Jam dua siang lewat tiga menit. Kini perkaranya harus berhadapan dengan seorang wanita berkepala tiga yang tengah duduk di sofa sambil membaca majalah fashion dari pusat perbelanjaan terkenal.
Natalie mendengus kesal. Sudah lima menit dia berdiri disana untuk meminta izin pada ibunya. Permainan basket itu akan dimulai jam setengah tiga atau tepatnya dua puluh lima menit lagi. Tapi, masalah yang sesungguhnya ialah bagaimana cara agar ibunya memberi izin agar gadis itu bisa pergi sedangkan hari ini adalah jadwal untuk les privat matematika —pelajaran paling membuat kejang-kejang— Natalie.
Gadis berumur enam belas menuju tujuh belas itu memainkan jari-jemarinya untuk menunggu kutipan apa yang akan keluar dari mulut ibunya. Dia sudah bersiap-siap, baju biru muda dan rok selutut yang sewarna dengan atasannya. Sepatu kets putih, rambut terurai, tas kecil berwarna putih dengan polkadot hitam, dan bekal senyum kalau nanti dia akan bertemu Revin Winata."Dalam rangka apa menonton basket bersama teman sekelas?" tanya ibu Natalie atau yang kerap dipanggil mama olehnya.
Itu kebohongan pertama untuk ibunya hari ini. Sebenarnya dia mengatakan akan menonton dengan satu kelas adalah kebohongan. Tapi itu dilakukan agar ibunya mau untuk mengizinkan Natalie.
"Ngasih semangat ma, buat sekolah." jawabnya kemudian setelah lama tak bicara.
"Jadi? Nilai matematikamu dua bulan lalu apa bisa selamat kalau les nya bolong lagi?"
"No!! Hanya sekali kok ma."
"Sekali? Baiklah. Uang jajan kamu mama potong tiga hari. You can go now!" kata mamanya sambil tertawa kecil.
Natalie mengembangkan senyumnya, dengan cepat dia melesat pergi dan sampai di garasi mobil. Dia ditawarkan antaran oleh pak Joko, supir pribadi di rumah, tapi dia menggeleng dan menuntun sepeda putih miliknya keluar gerbang. Dia mulai menaiki sepeda itu dan menengok ke jam tangan, dua puluh menit lagi. Dia yakin tidak akan melewatkan aksi Revin walau sedetik saja.
Gadis itu mengayuh kuat sepedanya menuju jalan raya, dengan hati-hati dia mengayuh menuju barat untuk mengambil jalan pintas agar sampai dengan cepat ke lapangan pertandingan basket. Dia memasuki gang kecil dan berhenti sejenak, gang itu kumuh dan disana berlalu-lalang anak-anak yang tengah bermain. Dia ragu untuk melewati mereka semua, tapi kemudian dia menjadi tidak peduli. For Revin, pikirnya.
"Permisi dekkk!" ucapnya kepada beberapa anak yang bermain kelereng di depannya.
"5000 aja, kaka bisa lewat." balas satu diantara sembilan anak lelaki.
Di antara mereka ada yang tidak memakai sendal, ada yang belum ganti baju dinas sekolah, ada yang hanya memakai celana pendek, dan berbagai keunikan lain. Natalie menaikkan alis melihat mereka semua, kemudian melirik ke jam tangannya. Lima belas menit. Dia pun merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang lima ribu rupiah.
"Nih!" teriak Natalie kuat.
Anak itu menarik uangnya, "idih, 5000 wae? Mana cukup."
"Tadi lo bilang 5000!" Natalie tidak terima diperlakukan seperti bawahan.
"Siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga" hitung anak itu sambil menunjuk temannya satu per satu.
Gila ni anak, timpal Natalie dalam hati.
"Daripada telat." ucapnya di hati.
Gadis itu merogoh kantongnya dan mengeluarkan uang lima puluh ribu. Melihat itu mereka bersembilan tertawa, dan yang botak merampas uang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Ice (END)
Ficțiune adolescențiCerita tahun 2018, masih menye-menye banget. Please jangan dibaca lagi!!!