Kebahagiaan bukan barang dagangan.
Miliki jika kau inginkan.☕☕☕
Revin melajukan motornya di jalanan. Tanpa Natalie tentunya. Dia memutuskan untuk pergi le aja sendiri dan menyelamatkan harga diri daripada memikirkan Natalie yang marah kepadanya. Apalagi waktu sudah di ujang, membuatnya harus memasang kecepatan tinggi.
Namun, seketika dia rem mendadak di perempatan. Saat seorang lelaki menyebrang tiba-tiba saat dia melintas di jalanan. Lelaki itu terjatuh, padahal Revin bisa memastikan kalau tidak ada satu inci saja yang mengenai tubuh bahkan kulit lelaki itu.
Revin mengernyit. Diam. Tidak ingin turun.
Akhirnya lelaki yang terjatuh itu bangkit sendiri, mendongak pada Revin yang wajahnya ditutupi helm. Lelaki itu baik-baik saja. Karena Revin tahu dia tidak apa-apa,maka dia tertawa ringan. Lelaki itu Levi ternyata.
Levi memutar bola matanya, kemudian menoleh pada seseorang di ujung trotoar. Itu temannya, Dika. Dika melenggang mengarah ke motor Revin yang terhenti dengan baik sesaat sebelum Levi mementalkan dirinya sendiri. Revin saja heran mengapa mereka berdua bersifat bodoh seperti itu.
"Ngapain lo pada kaya orang gila?" Revin berteriak kuat, melawan suara kendaraan yang ramai jalan.
"Lo nabrak gue!" balas Levi.
"Udah Lev!" bisik Dika. "Udah ketahuan kita acting jadi ga usah kita lawan lagi."
Revin mengangguk paham. "Jadi lo pada disuruh Jhuna biar gue ga bisa dateng ke aula?"
Dika dan Levi terdiam, alias tidak berbicara satu kata pun. Mereka sadar ternyata Revin tidak lebih pintar dari merwka untuk tahu semua ini. Mereka pikir Revin akan sangat khawatir dan mengantar Levi ke rumah sakit. Tapi, ternyata lelaki basket itu bisa menelaah otak Dika, atau lebih tepatnya otak picik Dika.
"Udah! Ga usah abisin waktu disini! Lo pergi aja! Ntar lo telat mau perform." ujar Dika seraya membuang pandangannya ke arah barber shop yang tepat berada di seberang mereka.
"Makasih udah ingetin!" Revin kembali melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Levi dan Dika yang sial karena semuanya sudah ketahuan oleh Revin.
Rencana mereka gagal sekarang. Yang bisa mereka harapkan adalah takdir. Antara Revin atau Jhuna yang akan memenangkan kesepakatan yang mereka setujui ini. Walaupun hampir seluruh persentase kemenangan ada di bagian Revin, tapi mereka tidak akan menyerah.
Selang beberapa menit, Revin sampai ke depan aula yang ternyata sudah ramai saja dikunjungi oleh banyak murid sekolahan. Lelaki itu melirik pada jam tangan miliknya, sudah pukul 18.01. Dia hanya terlambat enam puluh detik saja. Tidak terlalu parah.
Revin turun dari motornya, kemudian berjalan menuju pintu utama yang akan membawanya masuk ke dalam aula. Seisi ruangan besar itu ternyata sangat sumpek jika dipenuhi orang-orang heboh seperti saat ini. Dan yang mengena dalam pikiran Revin adalah Icha, gadis yang saat ini duduk di sebuah kursi dan tersenyum gudang ketika melihat Revin.
Gadis itu berdiri dan menghampiri Revin dengan sangat cepat. Tidak lupa dia melirik kanan-kiri, semua tahu apa maksudnya. Dia mencari keberadaan Natalie Sanjaya. Namun ternyata gadis itu tidak terlihat, membuat Icha semakin melebarkan senyumnya.
"Hai Revin! Sendiri?" tanya seraya menaikkan sebelah alis.
Revin mengangguk sambil mengamati penampilan Icha yang tampak glamour kali itu. Gaun hitam selutut dan sepatu high heels yang tetap saja kalah oleh tingginya Revin. Make up yang sangat pas untuk wajah remaja. Bibir merah jambu juga rambut yang dibiarkan terurai dengan sedikit gelombang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Ice (END)
Teen FictionCerita tahun 2018, masih menye-menye banget. Please jangan dibaca lagi!!!