Taehyung diam-diam meminta dokter kejiwaan untuk memeriksa kondisi Jimin. Hasilnya cukup parah, Jimin divonis depresi. Jimin bahkan mengatakan sendiri kalau dia sudah lima kali berniat bunuh diri.
Ia menatap kawannya khawatir. Di dalam tidurnya saja, Jimin tetap terlihat memiliki banyak sekali masalah. Dia paham kenapa Jimin terus berkeinginan bunuh diri. Kalau dia berada di posisi Jimin, dia yakin dia juga pasti akan melakukan hal yang serupa.
Tapi bukankah itu sudah sangat keterlaluan? Dokter menyarankan supaya Jimin mengikuti beberapa terapi kejiwaan. Namun Taehyung memilih menolak karena dia melakukannya secara diam-diam, hanya supaya dia tahu ada apa dengan Jimin sampai terlihat seputus asa itu.
Niatnya memang baik, tapi karena kecerobohannya, dia harus mempertanggungjawabkan itu sendiri.
Jimin banyak melamun. Meskipun ada Taehyung di sampingnya, anak Park itu selalu menghabiskan waktunya dengan melamun. Terkadang saat Taehyung meninggalkannya sebentar untuk mencari makan, Taehyung akan mendapati Jimin yang sedang menangis begitu ia kembali. Taehyung terus memancing Jimin bicara, khususnya membicarakan apa yang sedang ada di pikirannya. Namun karena Jimin sudah terbiasa melakukan segalanya sendiri sejak kecil, bukan gayanya untuk membebani orang lain dengan masalahnya. Jimin tumbuh menjadi sosok yang benar-benar mandiri.
Taehyung menumpukan kedua sikunya di ranjang yang ditempati Jimin. Mata hazel kecokelatannya masih betah menatap wajah yang sedang terlelap itu. Saat tangannya ingin menyingkirkan rambut yang menutupi salah satu mata Jimin, ponselnya bergetar. Segera diambilnya benda itu untuk melihat siapa yang menghubunginya.
Yoonjung
Taehyung memandang Jimin ragu, lantas ia bangkit dan beranjak keluar dari ruangan. Dipilihnya kursi tunggu di depan ruangan Jimin untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Hm?"
"...kau dimana sekarang?"
"Rumah sakit. Menunggui Jimin."
"Oh."
Diam sejenak. Taehyung membungkuk pada seorang perawat pria –yang sudah cukup dikenalnya, yang akan masuk ke ruangan Jimin untuk memeriksa infus.
"Ada apa menelepon?"
Terdengar helaan napas dari Yoonjung. "Aku hanya ingin memberitahumu ... lusa aku akan pergi ke Kanada."
Taehyung terhenyak. Namun hanya sebentar karena bersamaan dengan keluarnya perawat pria itu dari ruangan Jimin. Ia membungkuk, mengucapkan terima kasih tanpa suara.
"Bukannya masih akhir Januari? Kenapa terburu-buru?"
"...tidak ada yang harus dilakukan lagi di Korea."
"Begitu?" Taehyung menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Jadi bukan karena Jimin?"
Diam di seberang sana membuat Taehyung yakin kalau ucapannya benar. Ia menghela napas. "Bisakah kita bertemu sekarang? Di taman rumah sakit, ada yang ingin kubicarakan."
Setelah mendapat persetujuan dari Yoonjung, Taehyung pun memutuskan sambungan. Ia kembali ke ruangan Jimin untuk melihat situasi. Saat yakin jika Jimin benar-benar lelap, ia pun segera pergi menuju taman rumah sakit.
—
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Yoonjung beberapa menit setelah dia dan Taehyung hanya diselimuti oleh dinginnya winter. Napas dan segelas kopi kertas di tangan mereka tampak mengepul. Agak mengganggu pemandangan namun tidak ada satu pun yang protes karena sudah terbiasa.
Taehyung menunduk, memperhatikan gelas kopinya. "Kau tahu 'kan, kondisi Jimin sangat parah."
"Kurasa setelah beberapa hari perawatan, dia akan sembuh seperti sediakala."
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [myg]
FanfictionSUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY STORE Kau tahu bagaimana sulitnya mencintaimu yang bahkan pantas kupanggil sebagai ayah?