chapter 11

2.2K 92 0
                                    

Aku membaringkan tubuhku di ranjang hotel yang sangat nyaman ini.

"Kau mau kemana?" tanyaku saat melihat Martin memakai jasnya.

"Selain project-mu, aku juga punya beberapa pekerjaan disini." jawab Martin, oh. Jadi dia kemari denganku karena project yang berbeda.

"Aku pergi." pamit Martin. Ini sudah sore, kami baru saja pulang dari pantai Kuta. Aku sudah merasa lelah, dan dia malah langsung berangkat kerja. Menjadi Direktur tidak seperti di film film yang selalu menghamburkan uangnya.

Martin memang hidup mewah, dan juga suka membeli barang yang tak penting. Tapi dia bukan penyewa wanita yang berbeda-beda setiap malamnya, dan dingin. Sangat dingin.

Seakan hidupnya tak berarti, dan aku harus menyadarkannya secepatnya.

***

Aku terbangun karena Martin mengguncang tubuhku.

"Bangun, Alice!" ucap Martin seperti berbisik.

"Hoaamm. Ada apa?" tanyaku sambil bangun duduk.

"Shhht! Apa kau tidak merasa aneh?" tanya Martin.

"Aku tertidur dari sore, perasaan aneh apa?" tanyaku balik. Martin menyelidiki semua sudut ruangan. Dan

'Duaarr'

Peluru dari pistol terdengar menembus kaca jendela hotel.

"Martin, ada teroris!" ucapku panik.

"Bukan, Alice. Tapi pembunuh bayaran. Pasti dari Kyle. Pria itu tidak pernah puas." jawab Martin. Astaga, hidup kita terancam sekarang.

"Kita harus pergi." ucapku sambil berusaha bangkit.

"Tidak. Sasarannya bukan kita, tapi kau." ucap Martin. Aku mengernyitkan dahiku. "Sudah empat kali aku melawan mereka, dan kali ini aku bersamamu. Dan mereka akan menyerangmu, kemudian menculikmu dan menyuruhku datang dan dapat merebut semua hartaku."

Aku menganggukkan kepalaku mengerti.

"Kau bersembunyi, kemudian lari dan mencari bantuan dari keamanan hotel. Selagi aku mengalihkan perhatiannya." ucap Martin mengatur strategi. Aku masuk ke bawah ranjang yang tertutupi oleh seprai. Aku melihat Martin bersembunyi di belakang pintu dari sela-sela seprai.

Pembunuh bayaran itu masuk, kemudian Martin menendangnya hingga jatuh. Martin kemudian menepis pistolnya hingga terhempas jauh dari mereka.

"Lari!" jerit Martin. Aku keluar dari tempat persembunyianku kemudian melarikan diri.

"Ya ampun!" aku merasa sangat kacau. Aku pergi menuju lift dan tiba-tiba

Lampu padam. Saat aku menoleh ke jendela, hanya lampu-lampu kendaraan saja yang menyala.

"Berarti tidak bisa menggunakan lift. Cahaya!" aku menekan bel setiap kamar. Dan akhirnya ada yang membuka pintunya.

"Ada apa ya mbak? Malam malam nekan bel?" tanya wanita itu sambil membawa senter.

"Saya pinjam dulu cahayanya. Gini mbak, di kamar saya ada teroris yang mau ngebunuh saya, dan.. Suami saya. Tolongin mbak, daripada salah satunya harus mati." jawabku.

"Tunggu dulu, sudah cari bantuan keamanan hotel?" tanya wanita itu.

"Mau apa mbak? Lampu mati, genset belum nyala. Saya harus gimana?" tanyaku.

"Punya bross sama minyak gosok?" tanyaku

***

Author pov

The Mate For The Throne HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang