Chapter 37

2.3K 86 3
                                    

Alice tidak bisa melakukan ini, ia tidak dapat menerima tatapan sinis dari para petinggi Perusahaan yang tidak semuanya pria, mungkin diantaranya ada Direktur yang membawa serta anak perempuan mereka karena ia dapat melihat banyak wanita 20-an yang menatapnya sinis saat ini. Tangannya reflek menutup matanya karena silauan pancaran lampu kilat dari kamera wartawan yang selalu terarah kepadanya. Nafasnya sesak, rasa takut menyelimuti dirinya. Entah kekuatan darimana yang ia dapatkan sehingga berhasil melepaskan kaitan lengan kekar Martin di pinggangnya dan berlari keluar dari Aula yang ramai.

Martin berhasil menggapai tangan Alice dan mencengkramnya
"Ada apa, Alice?"

Alice menundukkan kepalanya, berusaha menutupi mata sembabnya dengan untaian rambutnya yang menjalar ke depan.
"Tidak apa-apa."

Martin memicingkan matanya, berusaha mencari tahu apa yang terjadi dibalik anak rambutnya, "Hei, jangan menangis."
Ia menarik Alice ke dalam dekapannya.
"Ada apa denganmu?"

Alice berusaha menegakkan kembali kepalanya yang telah tertunduk untuk menyembunyikan tangisannya
"Aku tidak terbiasa dengan semua ini."
Alice menyeka air mata yang masih tersisa, dan hendak pergi sebelum Martin menahan lengannya

"Hei, kau mau kemana?"

"Pulang, tentunya." Jawab Alice.

"Tunggu, kalau sudah sampai sini bukankah kita harus tetap tinggal sebentar," datang ke perayaan memang bukan tujuan utamanya, ia hanya akan menghadiri sebentar dan lanjut ke tujuan utamanya datang kesana.

"Mereka merayakan kedatanganmu, maka kau harus hadir. Aku akan menunggu di rumah hingga kau kembali." Jawab Alice.

Wartawan mulai melingkari mereka, begitu banyak yang merekam, memotret, dan menyalakan lampu kilat dan menanyakan berbagai macam hal.

Dengan sigap, Martin menarik tangan Alice dan berlari masuk ke dalam lift. Martin menekan cepat tombol agar pintu lift segera tertutup sebelum para reporter dapat mengejarnya.

"Martin." Panggil Alice.

Martin menolehkan kepalanya kearah Alice yang berdiri disamping kirinya, tampak kebingungan dan belum sadar sepenuhnya akan apa yang terjadi.
"Ada apa?"

"Kenapa kita masuk ke dalam sini? Bukankah kita harus pergi keluar?" Tanya Alice.

"Aku sudah memesan satu kamar Hotel disini. Sebaiknya kita beristirahat karena pergi dari pesta mungkin tidak sopan untuk dilakukan." Jawab Martin.

Alice menundukkan kepalanya, tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin kali ini ia akan menuruti ucapan Martin.

Ketika pintu lift terbuka, Martin melingkari tangannya di pinggang Alice, guna menuntunnya masuk ke salah satu kamar Hotel. Ketika ia membuka pintu, nampak kamar yang telah di desain khusus untuk pengantin yang sedang berbulan madu.

Dengan bunga mawar berserakan di lantai dan lilin-lilin yang menambah nuansa romantis di kamar tersebut. Namun Alice memiliki rasa tertarik dengan suatu hal, ia memaksa Martin berjalan kearah balkon yang menampakan pemandangan malam kota Jakarta

"Wow.." Alice tidak dapat menahan mulutnya untuk bergumam kagum.

Martin mengangkat lengannya yang semula berada di pinggang Alice menjadi berada di pundak, mengusap pundak Alice pelan sehingga memberi kesan nyaman kepada si empunya pundak.
"Aku tidak menyangka kau akan lebih menyukai pemandangan ini dibanding kamar yang susah payah kuhias."

Alice kembali ke alam sadar dan menoleh kearah Martin
"Aku menyukai keduanya."
Ia kembali menolehkan kepalanya ke depan dan menikmati hembusan angin malam. Tanpa sadar, ia telah menangkupkan kedua tangannya dingin.

"Kau memang wanita yang suka memberi kode sangat jelas." Martin membuka jasnya dan memasangkannya di pundak Alice, menyisakan kemeja putih yang melekat pas dan menampakan otot six pack hasil olahraganya di gym setiap minggu.

Martin mengecup puncak kepala milik Alice dan mengetatkan kaitan lengannya
"Selama ini pasti sulit bagimu."

Ucapan Martin membuat Alice menoleh, tidak paham akan situasi dan maksud ucapannya. Namun ia harus menjawab sesuai terkaannya
"Tidak jika sudah terbiasa."

"Aku memang ayah yang bodoh, saking bodohnya sampai berpikir kau mampu memaafkan kesalahanku."

Alice memilih untuk diam, menunggu apa lagi yang akan diucapkan Martin selanjutnya

"Jika kau masih tidak bisa memaafkanku, setidaknya biarkanlah aku menanggung kehidupan kalian yang masih merupakan tanggung jawabku, biarkan aku menjadi suamimu hingga aku kembali."

Alice membelalakan matanya mendengar ucapan manis yang keluar dari mulut Martin, tanpa sadar matanya mulai berair, ia menganggukan kepalanya pelan sebelum jatuh ke dalam dekapan hangat Martin. Ia akan menerima kembali Martin sebagai suaminya seperti semula. Setidaknya, selama di Indonesia hingga kerja samanya berakhir.

***

Alice berjalan bersama dengan suara ketukan dari high heels yang digunakannya. Mengenakan tas selempang dan pakaian kantornya seperti biasa. Ia dengan santai masuk ke dalam gedung perusahaan dengan tatapan aneh dari para pegawai sejak terungkapnya kebenaran kalau ia merupakan istri sah dari seorang Martin Fernando, Namun ia tidak peduli itu. Alice menyesap kopi instannya setelah masuk ke dalam lift . Setelah tiba di lantai tujuannya, Alice keluar dari lift dan berpapasan dengan Sang General Manager perusahaan.

Alice mengembangkan senyum di wajahnya
"Pagi, Pak Faisal. Kebetulan saya mau mencari bapak."

Faisal mengernyitkan kening,
"Apa yang bisa saya bantu?"

"Bukan apa-apa pak, saya cuman mau kasih data-data yang selalu bapak tagih akhir-akhir ini." Jawab Alice, ia menyerahkan sebuah map pada Faisal.
"Ini adalah Kartu Keluarga saya yang sah, dan..
Surat nikah."

Faisla membuka map dan melihat jelas nama yang terpampang di Kartu Keluarga milik Alice
Martin Fernando
Alicia Amantha Fernando
Lydia Fernando

Ada sedikit rasa menyengat di hatinya melihat nama di KK itu.

"Kalau begitu saya permisi ya pak." Pamit Alice menunduk sopan dan berbalik masuk ke dalam lift.

***

Hari ini adalah peresmian Hotel yang telah dibangun sejak beberapa bulan yang lalu, diawali dengan pemotongan pita, hingga pesta di salah satu Aula Hotel tersebut.

Alice memandang Martin dari kejauhan, mengangkat gelas minumnya untuk memberikan kode pada Martin, mengajak untuk minum bersama. Martin menghampiri Alice

"Apa ini Vodka?" Tanya Martin.

Alice tersenyum kemudian menggeleng
"Ini hanya minuman manis biasa."
Ia melirik kearah jam tangannya
"Oh astaga, aku sudah terlambar sepertinya."

"Kau akan kemana?" Pertanyaan Martin hanya dianggapi oleh senyum manis dari Alice

***

Jogja

Setelah turun dari pesawat, Alice langsung mencari Taxi untuk pergi ke Rumah Sakit tempat Bapaknya dirawat. Ia tidak ingin memberitahu keluarganya dulu, ia akan memberikan kejutan.

"Ini pak, makasih ya pak." Ujar Alice sambil memberikan ongkos Taxi pada supir.

Alice berjalan di koridor, guna mencari Ruang Rawat Inap milik Bapaknya dulu. Ia memicingkan matanya, memastikan apa benar yang berjalan di depannya ini adalah Dian dan Irene yang tengah membantu Henry berjalan sambil menggandeng beberapa tas.

"Bapak?" Alice berlari kegirangan dan memeluk Henry yang telah sehat bugar mesmipun masih perlu bantuan untuk berjalan.

"Bapak udah sembuh? Ayo, kita urus administrasi!" Ajak Alice. Langkahnya terhenti mengingat sesuatu, penghasilannya selama ini mungkin tidak mencukupi pembiayaan Bapaknya, bahkan jika ingin sembuh total, maka Henry perawatan intensif yang biayanya lebih mahal lagi.

"Tunggu, darimana kalian mendapat uang selama ini?" Pertanyaan Alice berhasil membungkam Irene dan Dian.

Apa jangan-jangan..

TBC

The Mate For The Throne HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang