Martin terdiam di tempat setelah mendengar sesuatu yang mungkin kata pertama diucapkan anak itu di dunia ini, Daddy.
Putri yang karenanya ia rela jauh-jauh datang ke Indonesia untuk mencaritahu tentangnya. Martin merasa jasnya agak basah, ia menoleh kearah jasnya yang ternyata dingompoli oleh Lydia. Bukannya marah, ia malah tersenyum.
Seperti ini rasanya
Martin membuka jasnya dan meletakkan di lantai. Putrinya sangat mirip dengannya, dari matanya, hidung dan nampak sekali kalau ia bukan sepenuhnya keturunan Asia.
Lama menatap putrinya lekat, gerakan Alice yang tiba-tiba mengangkat Lydia membuatnya terkejut"Kenapa kau ada disini?" Wajah Alice memerah, berusaha mencari alasan untuk menjelaskan keberadaan Lydia disini. Ia menoleh kearah lantai dan mendapati popok Lydia yang tertera di lantai
"Ayo sayang, tante akan membawamu kembali pada ibumu, ayo!"Tingkah bodoh Alice membuat Martin kesulitan menahan tawanya, pria itu menatap Alice dengan tatapan tajam dan membingungkan untuk diartikan baginya
"Tidak perlu berpura-pura lagi, Alice. Aku tahu semuanya."Kali ini ucapan Martin membuat pipi Alice memerah padam, menyesali tingkah bodoh yang baru dibuatnya barusan. Mungkin memang benar, tak ada gunanya menyembunyikan ini dari Martin. Lydia nampak sangat lelah, untuk sementara Alice tak menghiraukan keberadaan Martin dan berusaha menidurkan Lydia yang sudah kelelahan. Setelah menidurkan Lydia, Alice baru sadar kini hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, dan betapa canggungnya itu.
"Emm, bisa bicara sebentar?" Alice berusaha membuka percakapan terlebih dahulu ditengah canggung yang menyelimuti. Ia menuntun Martin ke ruang santai dan duduk di salah satu Sofa yang tergeletak disana.
Alice menghela nafas panjang sebelum mulai bicara, "Kurasa kita sampai disini saja."
Martin lagi-lagi tidak mengerti dengan pola pikiran wanita itu, dari dulu ia selalu menolak Martin terus menerus, jikalau Lydia alasannya, bukankah ia akan lebih terbantu dengan keadaan Martin disisinya? Dan semua yang terjadi setahun lalu, ia rasa Alice cukup pemaaf untuk memaafkan itu semua.
"Bisa kutahu apa alasannya?"Kali ini Alice tak coba membentak seperti yang ia lakukan di Restaurant terakhir kali, "Aku akan lebih terbuka, dengan keadaanku saat ini aku sudah jauh lebih baik. Aku paham maksudmu ingin bertanggung jawab, tapi jika kami baik-baik saja setahun lalu tanpamu, maka kurasa kami akan cukup sanggup untuk kedepannya."
Baik, kali ini mungkin lebih sulit untuk dikatakan bagi wanita yang tidak gampang menyakiti perasaan orang lain sepertinya, "Dan lagipula semuanya percuma, aku hanya tidak ingin kau melakukan semuanya untukku sementara pada akhirnya aku juga tidak menerima-mu. Itu hanya membuang waktu dan tenaga bagi CEO Fernando Group sepertimu, kau punya segalanya disana, dan tidak ada gunanya kau datang ke negara seperti ini untuk memperjuangkan hal yang sama sekali tak berguna bagimu."
Kejam, perkataan Alice sangat memotivasi dan sesuai dengan realita yang pahit, "Baiklah, cepat bersiap-siap dulu selagi dia masih tidur."
Ailice mengernyitkan kening setelah mendengar perintah Martin "Kita akan kemana?"
Martin yang telah berdiri dan bersiap untuk pergi pun menghentikan langkahnya dan berbalik, "Tidak apa-apa jika kau bisa menahan lapar hingga besok pagi."
Alice menghela nafas kasar, ia benci ketika harus melontarkan perkataan kasar pada orang yang sebenarnya masih ia cintai hingga saat ini. "Aku akan segera pergi dari sini, Martin."
"Lebih baik kau menurut saat ini atau aku akan menggunakan caraku untuk membawamu seperti siang tadi."
Alice membulatkan mata mengingat kejadian tadi siang dimana Martin menggendongnya seperti karung beras di pundak. Sebelum ia menjawab, Martin telah keluar dari kamar terlebih dahulu, ia yakin pasti Martin sudah tahu apa yang akan ia jawab. Sebenarnya, Alice masih sangat mencintai Martin, namun ada satu alasan yang membuat dirinya tidak bisa bersama Martin. Untuk memaafkan, Alice bisa saja menerima itu meskipun kehidupan sulit yang dijalaninya setahun lalu, namun perbedaan keduanya membaut mereka tidak bisa bersatu secara sah satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mate For The Throne Heir
RomantiekWanita cantik yang berusia 23 tahun itu berniat untuk mengunjungi kakaknya di San Fransisco, AS. Namun yang terjadi hanyalah kakaknya yang lari membawa uang perusahaan entah kemana. Dan sayang Alicia Amantha tidak mempunyai uang untuk kembali ke Ind...