Aku ingat saat itu.
Ketika perutku mulai berkontraksi. Sakit sekali. Waktu itu aku masih berusia belia, dan dilarikan ke rumah sakit bersama Mama yang berperut sama buncitnya denganku.
Para perawat maupun dokter di RS Immanuel sama-sama panik, mengingat usia kandunganku yang masih kurang satu bulan.
"Kenapa kontraksinya secepat ini, ya?" tanya Dokter Julianto Sp.OG lulusan FK UNAIR yang biasa menangani aku.
Wajah Mama dari sini terlihat panik, ia takut aku kenapa-napa. Sampai ia bilang kalau memang keberadaan janin itu mengganggu nyawaku, lebih baik gugurkan saja. Tapi, aku tidak mau, aku bilang aku ingin melahirkan anak ini dengan keadaan sehat sempurna. Entah dari mana keinginanku ini berasal.
Dokter pun menyarankan agar aku melakukan tindakan caesar, tanpa pikir panjang Mama mengangguk dan aku juga. Kami disuruh menandatangani surat persetujuan operasi.
"Kemungkinan rahim anak Ibu harus diangkat." kata Dokter Julianto. "Karena nanti saat operasi caesar akan terjadi banyak pendarahan, apakah Ibu setuju?"
"Setuju, Dok. Lakukan yang terbaik untuk anak saya."
Lalu terakhir kali aku melihat Mama adalah sebelum ranjangku digiring ke ruang operasi.
Keteganganku makin menjadi kala melihat perawat berpakaian serba hijau, juga dokter, aku tidak tahu operasi caesar itu seperti apa, tapi yang jelas kandunganku akan dikeluarkan. Aku tidak tahan lagi, perutku sekarang benar-benar sakit.
Lalu dokter memasang infus dan dalam hitungan detik, yang aku sudah tak sadarkan diri.
Bius total bekerja dengan baik.
Tiga jam setelah operasi, penglihatanku mengabur, aku melihat bayangan Mama yang mendekatiku. Kulihat perutku sudah rata kembali seperti semula, rata dan tak berrahim.
"Kamu sudah sadar, Nak?" tanya Mama panik.
"Kondisi bayiku gimana, Ma?" Aku bertanya balik.
Mama akhirnya membawaku menggunakan kursi roda, ia mendorongku hingga ke tempat di mana bayi-bayi yang baru lahir diungsikan. Dan di situlah ia. Si cantik dengan wajah berseri-seri, bertubuh mungil, berkulit agak pucat, tapi sehat. Lahir dengan panjang 37 cm dan berat 2,5 kg. Positif prematur.
"Ma, dia senyum ke arah aku, Ma!" teriakku girang.
Mama cuma berkata, "Iya."
Lalu salah satu suster di sana keluar dan menghampiri kami. Suster itu bilang bayinya perempuan dan sehat. "Mau diberi nama siapa, Bu?"
Entahlah panggilan itu tertuju pada Mama atau kepadaku. Tapi Mama mengalihkan matanya ke arah diriku. Aku sejenak bingung. Tapi tak lama.
"Akan kuberi nama dia ...."
***
Rian mencium bibirku dengan brutal, lidah kami bersilat di dalamnya, ia menyapu bersih semua gigiku. Perlahan ciumannya turun ke bawah, membuat aku terengah-engah menikmati puncak kenikmatan, apalagi setelah ia memasukkan miliknya ke dalam milikku. Tubuh kami sudah bersatu. Rian dengan lihai menggerakkan pinggulnya lebih cepat, membuatku semakin terangsang.
Ahhh ini enak sekali. Namun, tiba-tiba saja Rian merusaknya.
"You're not virgin anymore." Rian berbisik di sela kenikmatan ranjang kami. Omongan itu lagi, sial. Omongan itu juga yang membuatku flashback ke kejadian tak terlupakan 4 tahun lalu.
"Tell me who did this to you before me?"
Rian meneruskan mencium leherku, aku menggerakkan kaki ke ujung seprei, aku tidak kuat lagi, tapi aku tetap menggerutu, "Stop asking it, Yan." Selalu begini jawabanku ketika pertanyaan itu meluncur.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX FATHER
Romance18+ Enam tahun sudah berlalu, kini ia kembali mengusik hidup kami. Seri kedua dari My Step Father. Hak cipta dilindungi undang-undang.