Kencan pertama sama Rian tak pernah kupikir akan semenyenangkan ini.
Pertama kami nonton film di bioskop, aku hari ini sepenuhnya ditraktir oleh Rian. Dan aku mulai mempertanyakan berapa nominal yang diberi Om Aryo kepada Rian sehingga ia bisa sedermawan ini padaku. Berapa pun itu, pasti itu jumlah yang banyak.
Pertama kalinya aku dan Rian nonton di bioskop bersama, ternyata aku juga baru tahu ini pertama kalinya dia nonton di bioskop. Aku kaget.
"Masa iya kamu belum pernah ke bioskop, Yan?"
"Sumpah aku! Ini pertama kalinya," aku Rian. "Ke mall gini juga bisa dihitung jari."
Sepanjang film, Rian sangat khusyu memerhatikan jalan cerita. Aku sih biasa saja, malah asyik ngemil pop corn, sesekali menyedot ice coffee jelly yang sudah kami pesan sebelum nonton film.
Jika pasangan-pasangan lain ke bioskop menonton satu film, lain lagi dengan kami yang menghabiskan semua film bioskop hingga malam. Pulang-pulang mata kami langsung buram :D. Mana dapatnya kursi di depan layar lagi! Bioskop malam Jumat ramai juga ternyata.
"Udah, ya, Yan? Aku pusing duduk di depan layar ... hampir aja kita masuk layar." keluhku.
"Iya pulang aja deh, lagian film-nya juga udah habis."
Si kasir tempat membeli tiket tersenyum ke arah kami berdua. Tadinya sih mereka bersiap jika kami akan memesan lagi tiket lagi. MOH! Aku wes eneg, batinku.
***
Karena dari siang tadi kami hanya makan pop corn dan minum kopi, aku mengeluh lapar dan Rian membawaku ke salah satu restoran makanan cepat saji dekat mall tadi. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi kami berdua masih mengenakan seragam SMA. Lengkap dengan logo sekolah, bagde name, tetapi baju sudah dikeluarkan.
"Kamu udah ngasih kabar ke Mama kamu?" tanya Rian memastikan.
"Ini lagi," Aku mengetikkan satu SMS kepada Mama. Betapa kagetnya aku ketika ada dua puluh missed call serta empat belas SMS yang masuk ke ponselku ... dan itu berasal dari Mama semua.
Sekitar sepuluh menit kemudian, makanan kami serentak datang. Pelayan yang kubaca name tag-nya bernama Raya itu memindahkan makanan kami dari nampan ke meja.
Kami pun mulai menyantap makanan.
"Kalo makan nasi goreng gini, jadi keinget Kak Ferio." celutuk Rian tiba-tiba. Aku menaruh ponselku ke dalam tas.
"Iya ya, ini kan makanan kesukaan dia," balasku. Lalu teringat bahwa baru-baru ini aku tidak sengaja bertemu dengan Kak Ferio. "Oh iya, kemarin aku nggak sengaja ketemu sama kak Ferio, loh."
"Di mana?"
"Di Jalan Merdeka,"
"Kamu ngapain di sana? Itu kan jauh banget." tanya Rian intens, sama sekali tidak menggubris topik yang aku berikan.
Aku mendadak gugup, aku suap nasi goreng lagi buat menghalau kegugupanku. Rian tidak boleh tahu apa yang aku lakukan di sana. "Ada urusan bentar,"
Rian diam.
"Kamu kenapa nggak cerita sama Kak Ferio tentang ayah kandung kamu? Ke Kak Flara jangan-jangan kamu belum bilang juga, ya?"
"Belum, Pris. Aku dilarang."
"Sama siapa?"
"Sama Ayah."
"Loh kok?" Kenapa Om Aryo melarang Rian buat menceritakan hal ini kepada orang lain?
"Udahlah makan aja," Rian enggan melanjutkan topik tadi.
Aku pun makan nasi goreng sampai habis, perutku rasanya kenyang sekali. Desain restoran ini juga sangat memukau, di temboknya ada ukiran kecil gambar kapal laut. Ombak-ombaknya diwarnai biru langit.
Namun, kapal-kapal itu tidak menyurutkan rasa penasaranku malam ini. "Kalo ayah kamu tau kita pacaran?"
Rian diam sebentar, ia nampak berpikir sebelum menjawab pertanyaanku, lalu menggeleng. "Enggak sih."
***
Hari-hari berikutnya, aku masih dengan rutinitasku yang lama-lama terasa membosankan.
Ke motel yang Om Aryo pinta, dan tiap minggu letaknya tidak pernah sama alias selalu berpindah. Kami melakukan 'itu', melayaninya sampai ia puas. Saat melakukan itu pun tidak terasa menyakitkan seperti saat pertama kali aku melakukannya. Malah terasa ... hambar. Tidak ada rasa. Ketika melakukannya, aku malah berpikir bahwa aku sedang di alam bawah sadar, terbius oleh anestesi.
Lalu pulang sendiri, setiap ditanya Mama aku habis dari mana, jawabanku selalu sama, yaitu, "ada kerja kelompok, Ma."
Mama awalnya menggangguk. Ia sangat percaya pada putri kesayangannya ini. Tidak sedikit pun ia menaruh rasa curiga terhadapku. Ketika aku pulang dengan alasan yang sama pun, Mama hanya berkomentar, "lagi banyak kerja kelompok ya, sekarang, Kak?"
Aku hanya tersenyum.
Masuk kamar, langsung mengerjakan PR, baca-baca materi sedikit sebelum tidur, SMS-an sama Rian tentang apa pun, (kita tidak pernah kehabisan topik by the way).
Terakhir, aku mengecek kamar Clara dan Claudia. Ketika aku membuka pintu, mereka tidur dengan nyenyak. Aku lalu duduk di sebelah ranjangnya yang kosong, aku tarik selimut untuknya, selimut bergambar Frozen, kartun kesukaanku dulu.
Aku tidak pernah berhenti bersyukur atas kehadiran mereka di kehidupanku.
"Semoga gak ada sesuatu yang buruk terjadi sama kalian, ya. Kakak sayang kamu Claudia, dan Mama sayang sama Clara." Aku mencium kening mereka satu per satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX FATHER
Romance18+ Enam tahun sudah berlalu, kini ia kembali mengusik hidup kami. Seri kedua dari My Step Father. Hak cipta dilindungi undang-undang.