"Mau kamu apa sih?" Aku berlatih bicara di depan cermin, berulang-ulang, berkali-kali, seolah yang dihadapanku kini bukan bayangan diriku, tetapi Om Aryo.
Di hari-hari berikutnya kalian harus tahu bahwa aku hampir saja mati dalam menjalani hidup. Terbangun karena mimpi buruk, tak ada teman untuk bercerita, teror-teror mengerikan yang kerap kali mengganggu pikiranku.
Contohnya adalah waktu itu, aku menjemput mereka di TK Melati, tapi tidak ada. Ketika aku sampai di rumah, Clara dan Claudia sudah duduk di sofa. Mereka menyapaku penuh senyum, kutanya mereka pulang naik apa. Dan kalian pasti sudah dapat menduga jawabannya.
Artinya, dia sudah tahu rumahku.
Aku acak-acak rambutku hingga awut-awutan. Aku mengerang sendirian di kamar mandi pukul dua pagi. Insomnia dan mimpi buruk.
"Ini namanya trauma, Sayang. Semua orang yang mengalami kejadian buruk pasti mengalami ini. Mama minta kamu jangan berhubungan lagi dengan Om Aryo, ya?"
Kalimat Mama masih terngiang jelas di dalam benakku. Berputar dan terus berputar seperti rekaman dalam kaset DVD.
Tapi aku tidak kuat, Ma. Aku bisa gila lama-lama dengan semua ini.
"Mau kamu apa, sih?"
Kuulang kalimat yang telah kulatih ratusan kali itu. Namun, kali ini bukan di depan cermin. Kali ini aku berbicara di depan Om Aryo. Lelaki sumber malapetakaku dan segala mimpi buruk yang membuatku depresi.
"Mauku?" Om Aryo berpikir, ia mengetuk-ngetuk jari telunjuknya, lalu beringsut menuju kasur.
Ya, aku bertemu sesuai dengan tempat yang dimintanya lewat telepon. Di kos-kosannya. Tempat ini lumayan jauh dari rumahku. Juga sepi karena lokasinya cukup terpencil.
"Bisa nggak sih stop ganggu kehidupan aku yang sekarang?" Satu air mata lolos dari kelopak mataku. Aku membiarkannya terjatuh hingga mendekati bibirku.
"Sttt ... sttt ...." Om Aryo mendekatiku dan mengangkat daguku hingga sejajar dengannya. Lalu ia mencoba menghapus air mataku. "Satu-satunya mauku adalah layani aku seperti dulu,"
Aku tepis tangannya. "Tidak sudi! Aku nggak bakal pernah mau menyerahkan tubuh aku atas kendali kamu lagi! Jangan harap kamu bisa dengan mudahnya dapetin itu!"
"Ya sudah. Mungkin aku akan meminta layanan lain, seperti Clara ... atau Claudia," Om Aryo mengambil apel di nakas, ia melemparnya ke udara, lalu ditangkapnya lagi.
Aku bergeming.
"Pilih mana?"
"Ak-aku ...." Tenggorokkanku tercekat. Aku menelan ludah sebelum menentukan pilihan yang sebenarnya takkan pernah kupilih.
"Akan kubuat mereka menderita ... hancur ... sama sepertimu dulu," Om Aryo menghancurkan buah apel dengan tangannya yang berotot kekar. Apel yang sudah rusak itu jatuh ke lantai, meninggalkan bunyi bedebum pelan.
"Baik! Akan kuturuti apa maumu!" Aku tidak percaya akhirnya mengucapkan kata-kata ini juga. Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan mengkhianati ucapan Mama. "Kapan dan di mana?"
"Ouu jangan buru-buru, Sayang." Om Aryo melihat ke arahku, lalu dia mendekatiku, mendekatkan bibirnya pada bibirku, tapi tidak mencium. "Cukup satu minggu sekali saja, setiap akhir pekan. Temui aku di tempat berbeda, layani aku dan takkan kuganggu kehidupan adik-adikmu itu."
"Dan sekarang, kau boleh pergi." titah Om Aryo. Tubuh kekarnya terjatuh ke kasur, dan ketika melihat keberadaanku yang tak kunjung keluar, ia mengulang kembali ucapannya, "sudah sana pergi."
Aku menghapus air mataku menggunakan tangan sambil mengumpat, "brengsek! Bajingan!"
Lalu aku pun meninggalkan kos-kosan tersebut.
Rasanya ingin aku kutuk seluruh alam semesta ini. Aku benci skenario hidupku! Aku benci Tuhan!
A/n: selamat lebaran 2018!
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX FATHER
Romance18+ Enam tahun sudah berlalu, kini ia kembali mengusik hidup kami. Seri kedua dari My Step Father. Hak cipta dilindungi undang-undang.