25. Hilang

9.7K 311 10
                                    

Tiga puluh menit kemudian aku sampai juga di kompleks perumahanku. Jarak antara rumah Alona dan rumahku lumayan jauh, itu sebabnya kami baru bisa sampai. Dadaku masih berdebar-debar, aku takut sesuatu terjadi pada dua adikku.

"Pak, cepetan ya nyetirnya." titahku pada Pak Ujang.

"Ini sudah maksimal, Non." jawab Pak Ujang.

Aku turun dari mobil diikuti Alona ketika mobil sudah benar-benar berhenti di depan rumahku. "Bapak tunggu di sini, ya." pinta Alona pada sopirnya itu.

Semua lampu mati, hanya keadaan sunyi yang menyergap kedatanganku. Pikiranku benar-benar kacau saat ini. Alona memegang tanganku, seolah memberiku kekuatan.

Aku nyalakan semua lampu, mendadak rumah menjadi terang benderang. "Ara? Udi?" panggilku keras, barangkali mereka ada di kamarnya. Jam menunjukkan pukul setengah satu dini hari.

Alona menyuruhku untuk naik ke lantai atas, tetapi ternyata Clara dan Claudia tidak ada di sana. Aku cari lagi ke kamarku, kosong. Aku lari ke lantai bawah, kucek dapur, tapi tetap tidak ada. Mereka di mana?

Aku terduduk di sofa frustasi.

"Tenang dulu, ya." kata Alona. "Mereka pasti ada di sekitar sini kok,"

"Udah gue cari ke seluruh penjuru rumah ini, tapi mereka nggak ada, Na. Apa mungkin mereka ...," Omonganku terhenti karena melihat dua adikku keluar dari kolong sofa.

"KAKAKKK!!!" panggil keduanya seraya memelukku.

Aku balas memeluknya. "Ya ampun Double Cla, kalian ngapain ngumpet segala, sih? Kakak khawatir banget sama kalian." Aku cium kening mereka satu-satu.

"Maaf ya, Kak. Aku tadinya mau kasih surprise sama Kakak." Clara menyodorkan sebuah kue buatannya, ya walaupun tampilannya agak berantakan.

"Ara masak sendiri?" tanyaku tegas. "Kan udah Kakak bilangin, jangan masak sendiri. Bahaya ... kalau gasnya meledak gimana coba?"

"Tapi Kak, Ara cuma manasin kue pake microwave." Claudia membela saudaranya. "Mama yang buat kue ini tadi sore sebelum pergi karena ada urusan mendadak."

"Aduh itu juga bahaya, Sayang. Nanti kalau kena setrum gimana?"

"Iya maafin Ara, Kak. Ara janji nggak bakal kayak gitu lagi."

Aku mengangguk. Lalu aku sendokkan kue itu ke dalam mulutku. "Kakak coba ya ... eum, enak!"

"Masa?" tanya Clara senang.

"Iya, calon chef nih Ara." Aku mencubit pipinya gemas.

"Amiin," Alona menyahut.

"Oh iya, kenalin ini temannya Kakak, namanya Alona." Aku menunjuk Alona, Alona pun tersenyum. "Panggilnya Kak Alona aja."

"Iya, Kak Alona." kata mereka serempak.

"Pada cantik-cantik sama lucu-lucu gini kalian." puji Alona gemas. "Umur kalian berapa?"

"Enam tahun, Kak."

"Ooh, udah sekolah?"

"Udah, Kak. Di TK Melati. Diajarnya sama Bu Erin." Clara dan Claudia nyengir.

"Belajar yang bener, ya. Sekolah yang tinggi supaya bisa banggain orangtua." Alona mengingatkan sambil memegang pundak keduanya dengan lembut.

"Iya, Kak."

"Cita-cita kalian jadi apa?"

"Jadi dokter." jawab Clara antusias.

"Tuh apalagi kalau mau jadi dokter, harus rajin belajarnya ... kalau Claudia mau jadi apa?"

"Jadi sopir Tayo."

Jawaban Claudia otomatis membuat kami berempat tertawa. Lalu Alona memberikan penjelasan soal cita-cita, katanya pilihlah cita-cita yang tinggi dan realistis.

Claudia memasang wajah sedih karena tidak bisa menjadi sopir Tayo, lalu ia menjadi sumringah lagi. "Ya udah Udi mau jadi seperti Kak Pricilla aja, cantik, tinggi, pinter lagi." Claudia tersenyum.

Aku tersenyum dan memeluk mereka lagi.

"Sekarang kalian mendingan tidur, ini udah jam setengah satu." perintahku pada mereka.

"Tapi kan ... besok libur, Kak."

"Sttt, nggak ada tapi-tapi," Aku menutup kedua bibir kecil mereka dengan telunjukku. "Sekarang kalian sikat gigi, terus jangan lupa wudhu sebelum tidur. Oke?"

"Iya, Kak." Mereka berdua pun berlalu ke kamar mandi lantai bawah agak rusuh.

Setelah selesai, aku mengantarkan mereka ke kamarnya yang terletak di lantai atas, bersebelahan dengan kamarku. Aku selimuti mereka. Lalu aku cium lagi kening dua anak itu.

"Kakak kenapa matanya bengkak?" tanya Clara ketika aku baru saja melepas bibirku dari dahinya.

Aku buru-buru memegang kantung mataku. "Ohh enggak, ini cuma ... tadi tuh ada lebah gede banget, terus karena terbangnya nggak lihat-lihat jadi aja nabrak ke mata Kakak." jawabku setengah bercanda.

Tapi Clara percaya. "Huh dasar lebah! Berani-beraninya nyakitin Kakak aku!" Clara pura-pura sebal. Aku lirik ke arah Claudia, dia ternyata sudah tertidur pulas.

"Sudahlah, dikompres juga nanti udah nggak bengkak lagi."

Clara mengingkirkan selimutnya lalu tiba-tiba saja meraih tubuhku yang duduk di tepi ranjangnya. Aku kaget, "loh kok tiba-tiba peluk, Kakak?"

"Aku sayang Kakak."

Aku menyisir rambut hitamnya dengan tanganku. "Kakak juga sayang sama kamu." kataku tulus. Andai saja panggilan 'kakak' itu berganti menjadi 'mama'.

"Sekarang tidur ya. Kakak keluar dulu, nemenin Kak Alona." kataku.

Aku pun keluar dan menekan saklar lampu supaya kamar mereka gelap. Aku menuruni tangga dan menemukan Alona sedang duduk di sofa, ia sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

"Eh, gimana Clara sama Claudia udah tidur?" tanyanya begitu aku duduk di sebelahnya.

"Udah." jawabku lesu. Lalu kupanggil namanya, "Na."

Alona berdeham. "Hm?"

"Lo mau gak nginep di rumah gue?" pintaku. " ... gue masih takut."

Alona mengangguk cepat. "Boleh." katanya. "Kalo gitu gue keluar dulu, mau bilang ke Pak Ujang supaya dia pulang aja,"

"Oke."

MY EX FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang