"Gue ulang tahun minggu depan, lo berdua pasti dateng, kan?" tanya Franda kepada aku dan Alona serempak.
Jadi, hari ini harusnya pelajaran biologi oleh Bu Sri, tapi mendadak suaminya Bu Sri meninggal dunia karena penyakit yang telah lama dideritanya. Bu Sri pun meninggalkan kelas 11 IPA 3 tanpa tugas.
Dan di kesempatan yang jarang anak IPA dapatkan—alias jam kosong, kami gunakan buat ngerumpi. Kali ini sih tentang Franda yang akan ulang tahun ke-17 pekan depan. Umur tujuh belas tahun itu identik dengan kedewasaan, masa-masa sudah lepas dari remaja. Begitulah kata Franda, tetapi menurutku mau tujuh belas kek, mau dua puluh tujuh kek, tetap saja itu hanya masalah angka. Bagiku tidak ada yang spesial dari angka 17.
"Duh ngapain sih pake dirayain segala? Udahlah potong kue terus tiup lilin aja," komentarku sewot.
Ya iyalah siapa yang nggak sewot coba mendengar Franda yang akan sewa gedung dengan total puluhan juta belum termasuk dekorasi, gaun ulang tahun, dan katering? Orangtua Franda memang kaya raya sih, aku akui itu. Ayahnya adalah seorang dokter mata yang andal. Lalu ibunya adalah dokter urologi terkenal di Bandung. Wajar saja mereka merayakan ulang tahun anak sematawayangnya dengan mewah, meriah, dan besar-besaran.
"Gini ya Pricilla Sayang, usia tujuh belas itu ...," Tuh kan Franda akan memulai khotbahnya tentang keistimewaan angka 17, seakan jika tidak dirayakan akan menjadi bidah. " ... lagian cuma satu kali loh seumur hidup." Aku yang sedari tadi tutup telinga akhirnya buka telinga buat mendengar kalimat terakhir.
"Bener tuh, Pris!" Alona mengangguk setuju.
"Ya tapi kan usia yang lain juga cuma satu kali! Emang pernah lo usia sepuluh tahun dua kali?" balasku sebal, tetap tidak terima dengan pernyataan yang Franda berikan.
"Bener juga sih," kata Alona mulai setuju dengan pernyataanku. "Denger tuh, Fran!"
"Ih lo belain siapa sih?!" Franda menjitak kepala Alona. "Pokoknya lo berdua kudu dateng nggak mau tau, kalo enggak gue nggak mau sahabatan sama lo lagi," ancam Franda lalu ia membagikan undangan ulang tahun resmi kepada kami.
Undangan itu bentuknya hati berwarna pink, di bagian depan terhias nama Franda dengan indah, dan begitu dibuka muncul pop up foto Franda sedang berdiri memegangi balon berangka tujuh belas. This is even more than crazy!
"How dare you do this?" kataku sambil mengangkat undangan ini ke udara. Mungkin orang-orang perlu tahu tentang sebuah statement yang berisi: 'kalau tidak gila, bukan Franda namanya', dan itu memang benar adanya.
"Tugas kalian tinggal dateng aja. Gue juga udah undang semua murid satu angkatan sekolah ini ... pacar lo juga udah gue undang kok, Pris. Tenang aja." kata Franda tersenyum lebar. "Pacar gue yang dari Aussie juga dateng loooh, bela-belain ke sini padahal lagi sibuk kuliah!"
Aku agak misuh-misuh ketika Franda menyebut kata 'pacar'. Hmmm.
"Eh iya, maksud gue, Rian!" Franda mengoreksi ucapannya kembali. "Riantori Ahmadi!"
Alona memasukkan undangan tersebut ke dalam tasnya. "Kenapa sih Pris lo nggak suka kalau Rian dipanggil pacar lo? Emang kenapa, sih?"
Sekarang aku mengendikkan bahu.
***
"Apa pun yang ada di otak Franda saat ini, aku yakin pasti saraf kewarasannya udah putus. Masa dia mengundang One Direction ke pesta ulang tahunnya?"
Aku mengoceh tak ada hentinya kepada Rian yang dari tadi hanya manggut-manggut mendengarkan ocehanku. Bukan hanya Rian ternyata yang mendengarkan, tapi hampir semua pengunjung warung bakso melihat ke arah kami, terutama kepadaku.
Aku bicara lagi karena tak kunjung merespons, "Yannn kamu dengerin aku nggak, sih?"
"Kapan sih ulang tahunnya?" tanya Rian santai, malah jauh dari topik pembicaraan.
"Minggu depan!" jawabku.
"Maksudnya tanggal berapa?"
"Tujuh belas." kataku.
"Ooh." Rian malah kembali menyantap baksonya.
"Terus ... apa pendapat kamu soal pesta ulang tahunnya Franda yang super mewah itu?" Aku melipat tangan di dadaku, juga mendorong punggungku sampai menyentuh senderan kursi. Siang ini Bandung lumayan panas, jadi aku mendekatkan diri pada kipas angin yang berputar di belakangku.
"Ya udahlah, By. Toh duit-duit dia juga," Rian cuek, dan malah menyuap baksonya lagi.
"Tapi aku tuh nggak habis pikir aja, Yan. Kenapa sih—"
"Mending kamu makan." potong Rian yang langsung membuatku kesal.
"Kamu tuhhhh!!! Mending aku pulang!" Aku kesal dan langsung pergi dari warung bakso itu. Huh, kenapa Rian jadi menyebalkan begini? Pasti semenjak tinggal bareng dengan Si Bajingan Haryono!
"Pris, kamu mau kemana?" Rian refleks mengejarku sampai ke luar.
"Mau pulang." kataku datar, pelan, tanpa melihat ke wajahnya. Di jalan raya seperti ini toh juga banyak taksi ngantre buat aku naiki.
"Tapi kan baksonya belum habis?"
"Jadi kamu lebih milih bakso gitu daripada aku?" tanyaku sewot. Dasar PMS sialan!
"Oke oke, kamu tenang dulu. Aku bayar dulu baksonya, udah gitu aku anterin kamu pulang." Rian masuk lagi ke warung bakso, kudengar ia menanyakan nominal yang harus ia bayar pada si penjual bakso. Lalu menggendong ranselnya dan menghampiriku.
Aku tak menggubris kehadirannya, masih kesal.
"Udah yuk." kata Rian.
Aku berjalan ke arah motornya yang terparkir sekitar lima meter dari warung bakso tadi.
Rian berhenti sesaat, ia membalikkan badan ke arahku.
"Kenapa sih ih?!" Aku kesal karena dia berhenti sembarangan.
"Senyum dong, masa ada sih bidadari cemberut?" kata Rian.
"Apaan sih," Aku mulai sedikit tersenyum. Sedikit sekali.
"Kalau mau senyum, senyum aja kali, nggak usah ditahan-tahan." Rian mulai menggoda, ia menjawil pipiku, sementara aku membuang muka.
"Kalau marah terus nanti cantiknya ilang loh," Rian masih melanjutkan gombalan yang menurutku sangat standar itu.
"Mau anterin aku pulang nggak, sih? Atau aku pesen taksi aja nih?" Aku ketus lagi.
Rian mengembuskan napas berat. "Ya udah iya. Aku kan cuma berusaha buat menghibur kamu,"
"Nggak butuh hiburan!" Aku menaikkan nada suaraku sambil menatap matanya.
"Kamu jangan marah dong sama aku." Rian mengambil tangan kananku buat ia pegang, ia masih sabar.
"Ya kamunya juga yang bikin aku kesel," Kutarik tanganku dari pegangannya. Nada kalimat yang aku ucapkan tadi terdengar sombong.
"Kok kamu jadi kayak anak kecil gini, sih, Pris?"
Perkataan Rian barusan membuat emosiku naik. "Terus kamu nggak suka gitu kalau aku kayak anak kecil? Cari aja sana cewek yang dewasa! Nggak usah pacaran sama aku!" Puncak kekesalan aku sudah sampai ke ubun-ubun. "Udahlah aku mau naik taksi aja,"
"Pris, tunggu dulu! Maksud aku nggak gitu ... tadi aku salah ngomong,"
Rian masih mengejarku, tapi aku berhasil mendapatkan taksi lebih cepat. Aku langsung masuk ke taksi berwarna biru muda itu. Taksi pun berjalan menuju rumahku.
Selain kencan pertama ... ternyata ini juga pertengkaran pertama kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX FATHER
Romance18+ Enam tahun sudah berlalu, kini ia kembali mengusik hidup kami. Seri kedua dari My Step Father. Hak cipta dilindungi undang-undang.