11. Obrolan Privat dengan Om Aryo

22.9K 452 2
                                    

Setelah perkenalan nyaris singkat itu, aku dan Om Aryo atau Om Jeri, disuruh duduk di sofa saling berhadapap-hadapan. Kami duduk dengan bisu, terasa kecanggungan antara kami. Aku ingin cepat pulang ke rumah, menyelamatkan diri.

Hawa ruangan mendadak memanas, aku menjadikan sebelah tanganku menjadi kipas. Sudah memakai kaus tanpa lengan saja masih kepanasan, untung tidak mengikuti saran Mama pakai sweater.

Rian lalu mengusulkan akan membuat teh hangat di dapur, aku pesan padanya uspaya aku dibuatkan teh dingin. Rian mengangguk. Sementara Ayah tirinya entah kemana. Harusnya ia menyambut tamu di sini, tapi terakhir kali aku melihatnya adalah dua puluh menit yang lalu.

Setelah ditinggalkan berdua, si brengsek itu membuka suara.

"Mana anak kita?" tanya Om Aryo sambil menatap tepat di bola mataku. Aku melihat tubuh Rian sebelum menjawab pertanyaan itu. "Sudahlah, dia takkan dengar." kata Om Aryo seolah bisa membaca pikiranku.

"Gak ada." jawabku singkat dan dingin.

"Di mana? Aku ingin ketemu lagi. Siapa tau kita cocok." Om Aryo menekan kata 'cocok' di kalimat itu.

"Gak. Jangan coba-coba ya kamu sama kedua adikku." Rasanya aku ingin menampar lelaki itu sekarang, coba saja Rian tidak ada di sini bersama kami, mungkin sudah aku cincang tubuhnya.

"Adik? Bukannya salah satu dari mereka adalah anakmu?" Om Aryo masih keukeuh.

"Apa yang kalian obrolin? Kayaknya seru." Rian menaruh nampan di meja, kemudian memindahkan satu per satu gelas ke arah kami. Aku agak terkejut, apakah ia mendengar obrolan kami?

Ayah tiri Rian tiba-tiba saja datang, ia keluar dari kamar. Mungkin dia sudah mencium aroma kedatangan si Om Jeri semenit yang lalu. Keluar dengan sarung bermotif kotak-kotak, kaus oblong, apakah itu pakaian yang pantas untuk menemui tamu?

Rian duduk di sofa sebelahku, sementara ayah tiri Rian menduduki sofa di hadapan kami, mengambil posisi kosong di sebelah Jeri Ahmadi. Belum pernah aku sedekat ini dengannya.

Kemudian ayah tiri Rian mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya, lalu ia gunakan pemantik buat membakar puntung rokok tersebut. Ia hisap kuat-kuat sampai asapnya mengepul jauh ke udara, aku agak tersedak.

"Ambillah anakmu itu, aku sudah menurutinya agar membesarkannya sampai kau lepas dari penjara." Ayah tiri Rian membuka suara.

"Ya, terima kasih sudah membesarkan dia hingga sebesar ini." Om Aryo menjawab. "Sekarang akan kubawa dia tinggal bersamaku."

Percakapan tidak berhenti di situ.

"Dan aku juga minta ganti rugi."

"Tenang, tenang, kau minta berapa?"

Ayah tiri Rian menyebutkan nominal yang ia minta, mungkin sebagai ganti rugi atas uang sekolah Rian, juga biaya makan, minum, dan lain-lain. Nominal itu cukup besar, tenggorokkanku hampir tercekat mendengar angka sebanyak itu.

Anehnya, Om Aryo mengiyakan permintaan si orangtua tiri itu. Kemudian bilang, "besok saya akan transfer ke rekening, Bapak."

"Bagus, bagus. Sekarang bawalah sampah ini kemana pun kau mau. Aku sudah tak sudi melihatnya lagi di rumah ini."

Ayah tiri Rian kemudian kembali lagi ke kamarnya.

Jadi benar dia adalah ayah kandungnya Rian? Aku tidak percaya, berarti ... kalau begitu dia nanti akan menjadi mertuaku? Ah tidak-tidak, aku menggelengkan kepala sekuat-kuatnya. Hubunganku dengan Rian bisa saja putus di tengah jalan. Lagipula kami masih SMA.

Selanjutnya adalah hening.

Tapi Rian mengeluarkan suara beberapa detik kemudian, "kenapa kamu baru datang sekarang?" pertanyaan itu ditujukan pada Om Aryo.

Om Aryo tersenyum sesaat, ia melihat ke arah Rian langsung. "Maaf ya sudah membuatmu menunggu lama, aku berusaha sebisaku supaya cepat bebas dari penjara."

Rian mengangguk, "tidak apa-apa." katanya.

"Kamu kelas berapa sekarang, Nak?" tanya Om Aryo berbasa-basi.

"Kelas sebelas SMA."

"Oh, jurusan apa kamu?"

"IPS."

"Sama seperti saya." aku Om Aryo. "Kamu senang selama berada di sini?"

"Tidak terlalu."

"Oh ya, saya mau kamu melakukan dua hal."

"Apa itu?"

"Tinggallah bersamaku."

"Oke. Lalu?"

"Panggil saya dengan sebutan Ayah."

Rian membeo, "Ayah."

Dan banyak percakapan-percapakan sederhana yang mengalir pada pukul lima sore itu. Sampai lembayung mentari turun, aku memerhatikan dengan saksama mereka berdua. Anak dan ayah yang baru saja bertemu setelah sekian lamanya. Ini pasti momen yang paling ditunggu oleh Rian.

Ini juga momen yang paling aku benci di hidupku. Aku berdoa supaya pertemuanku dengan Om Aryo tidak membawa masalah. Mungkin saja ia telah berubah, bukan? Mungkin penjara telah mengajarkannya sesuatu.

Aku juga berdoa, semoga saja Rian tidak pernah menanyakan kasus yang membuat ayahnya berada di balik jeruji besi. Apalagi menanyakan siapa yang telah melaporkannya. Karena aku yang membuat ayahnya berada di penjara.

Mendadak aku merasa bersalah.

MY EX FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang