16. Apa Salah?

15K 353 8
                                    

"Ouuch,"

Mati-matian aku menahan rasa sakit yang kian menusuk tubuhku. Aku terpaksa melakukan ini dengan si brengsek Haryono di kos-kosan tempat ia tinggal, maksudku ia punya lebih daripada satu tempat tinggal. Katanya, ia selalu tinggal berpindah. Dengan begitu ia bisa lolos dari polisi.

Setelah ia bebas dari penjara, ia ternyata hidup tanpa arah dan tujuan di Jakarta. Sebagai pengangguran yang tidak punya uang. Lalu ia ikut temannya ke Bandung, rekan kerja yang dulu bekerja sama dalam menculikku. Aku tidak bohong, Om Aryo sendiri yang bicara padaku tentang penderitaannya. Tapi, satu yang harus kalian ingat. Apakah aku kasihan padanya? Tidak sama sekali.

Dan jika kau mau tahu kelanjutannya, setelah menetap di Bandung, Om Aryo ikut bisnis kos-kosan, lalu ia membunuh temannya tersebut hingga semua sertifikat kos-kosan jatuh ke tangan Om Aryo. Jahat sekali, bukan?

"Selesai." ucapku sambil melirik ke arah Om Aryo yang telah aku puaskan. Sekarang ia lemas di kasur.

Aku bangkit berdiri dan memakai kembali pakaianku. Hari Minggu yang tidak berguna! Hari Minggu yang aku benci! Hari Minggu yang aku sesalkan seumur hidup.

Aku sudah kotor seperti dulu.

Secepatnya aku berjalan meninggalkan kos-kosan tua yang menjadi tempat kami melakukan itu. Tanpa pamit, tanpa bertatap muka terlebih dahulu. Aku hanya pergi setelah memakai kembali pakaianku.

Setelah berjalan cukup jauh (karena ini merupakan tempat terpencil), aku berhenti dan duduk di sebuah halte bus, nanti dari bus ini aku aku akan diturunkan di depan kompleks rumahku. Aku duduk di situ bersama satu bapak-bapak berpakaian kemeja, seperti orang habis pulang bekerja. Ia menghadap berlawanan dariku.

Untungnya ada atap dan beberapa pohon rimbun yang membuat udara panas di sini berubah menjadi sejuk. Tempat ini jauh sekali dari rumahku, jadi tidak mungkin ada orang yang tahu. Apalagi Rian.

Secara tak sengaja, bapak-bapak tadi membalikkan wajahnya ke arah lain sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas walau hanya tampak samping. Aku pun terkejut. Tapi, apa iya ya itu dia? Hm, wajahnya familiar sih di benakku. Beberapa nama berputar di kepalaku, berusaha mengingat siapa nama lengkapnya.

Siapa ya? Oh, kalau tidak salah dia adalah Kak Ferio Brahmana!

"Kak Ferio, ya?" sapaku sesopan mungkin.

"Loh Pricilla, kan?" kata Kak Ferio kaget. Tidak menyangka kami akan bertemu di sini "Pacarnya Rian?"

Aku dan Kak Ferio pernah bertemu beberapa kali sebelum ini. Jadi, dia adalah teman super akrabnya Kak Flara dari SMA. Bedanya, Kak Flara meneruskan kuliah ke Yogyakarta, sementara Kak Ferio lanjut ke ITB. Dia juga yang dulu hobi mengajarkan Rian beberapa pelajaran seperti matematika, sejarah, geografi, juga olahraga basket. Sehingga Rian tidak pernah lepas dari angka depan 8 di rapor.

Intinya sih, Kak Ferio ini merupakan malaikat lain di kehidupan Rian. Lelaki ini baiiik sekali. Dan yang kudengar juga ia sering berkunjung membelikan Rian ini-itu. Tapi ya belakangan ini Kak Ferio sibuk bekerja, dia telah diterima di sebuah perusahaan yang sangat bergengsi dengan gaji yang lumayan pula.

Aku bersyukur Rian dikelilingi oleh orang-orang baik di hidupnya.

"Kamu habis dari mana?" tanya Kak Ferio.

"Habis ada urusan sebentar, Kak." jawabku sambil berusaha kelihatan bahagia. "Apa kabar, Kak?"

"Baik, kamu dan Rian apa kabar?"

"Aku baik, Rian juga ...," Jeda sesaat. "Oh iya, alhamdulilah loh Kak, sekarang Rian udah ketemu sama ayah kandungnya."

"Hah?" Kak Ferio tampak kaget. "Ayah kandungnya? Kok bisa?"

"Emang Rian gak cerita sama Kakak?" tanyaku bingung, aku kira aku bakal mendapat jawaban seperti: 'sudah tahu kok' atau 'iya Rian sudah cerita sama Kakak'.

"Nggak tuh, Rian sudah jarang menghubungi Kakak." jawab Ferio jujur diikuti helaan napas. "Memangnya kapan mereka bertemu?"

"Beberapa bulan lalu, Kak."

"Kalo Flara apa kabar?"

"Dia baik juga kok, Kak. Kemarin aku sempet ketemu waktu dia balik sebentar ke Bandung." Lalu aku menceritakan makan siang di rumah Rian yang terjadi sudah lama.

"Flara bukannya sedang kuliah, ya?"

"Iya emang, tapi dia balik sebentar ke sini gak tahu kenapa."

"Kok nggak ngabarin, ya?" tanya Kak Ferio seperti pada dirinya sendiri.

Tak lama berselang dari percakapan itu, bus yang kami tunggu-tunggu pun datang juga. Para penumpang berhamburan keluar dari bus biru tersebut.

"Kamu naik bus ini?" tanya Kak Ferio.

"Iya, Kak. Kakak sendiri?"

"Lah sama. Kalau gitu kita bareng aja," ajak Kak Ferio semangat. Kami pun naik ke bus itu bersama.

Di dalam ternyata bus tidak terlalu ramai. Jadi kami beruntung sekali bisa duduk di kursi paling belakang. Aku dan Kak Ferio berbicara banyak hal, tapi lebih banyak sih mengenai kehidupan Rian sekarang. Aku ceritakan semuanya. Tentang Rian yang sudah tinggal bersama Si Brengsek Aryo. Lalu nilai-nilai Rian yang bagus. Cita-cita Rian yang ingin masuk UI.

"Kalo Pricilla memangnya mau lanjut kemana?" tanya Kak Ferio menelaah. Kalau soal urusan kuliah sih aku yakin Kak Ferio sudah tahu banyak. Dan melihat kesuksesannya sekarang pun, aku jadi ingin mengikuti jejaknya.

"Penginnya sih masuk ITB, Kak." jawabku semangat.

"Ngikutin orangtua, ya?" tebak Kak Ferio usil.

Aku menggeleng. "Aku sih gak begitu tertarik sama pekerjaan orangtuaku, soalnya kayak berat dan melelahkan."

"Oh ya? Memangnya orangtua Pricilla kerja apa?"

"Almarhum Papa TNI Angkatan Darat. Memang sih keren pakai pakaian terhormat seperti itu, tapi aku rasa fisik aku lemah," ujarku mulai mengarah ke curhat, sementara Kak Ferio mendengarkan penuturanku. "Kalau Mama PNS, lumayan sih, gajinya bisa memenuhi semua kebutuhan kami, padahal dia seorang single parent, tapi jam kerjanya padat banget. Jadi dia hampir nggak punya waktu buat keluarga."

Kak Ferio mengangguk-angguk. "Iya, jadilah apa yang kamu mau. Jangan ikuti omongan siapa pun, karena toh kamu juga yang bakal menjalaninya,"

"Iya, Kak." Aku mendengarkan nasihat dari Kak Ferio. Lagipula Mama tidak menyuruhku buat masuk jurusna A dan universitas B. Mamaku tipikal orang yang: 'silakan, kamu bebas memilih jalan hidup kamu, asal itu baik'. Aku bersyukur punya Mama seperti Mama-yang tidak pernah menuntut aku harus jadi apa.

"Papa kamu sudah meninggal?" Kak Ferio bertanya lagi ketika mendapat anggukan dariku. "Sejak kapan?"

"Semenjak aku kecil, Kak. Kecelakaan." jawabku sedih.

"Kakak minta maaf, ya."

"Iya Kak, nggak apa-apa. Lagian aku sudah ikhlas sejak lama kok."

Perhentianku pun sampai. Aku turun duluan karena perhentian Kak Ferio masih amat jauh.

"Kalo gitu, Pricilla duluan ya, Kak."

"Iya. Salam ya buat Rian."

"Oke, Kak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam." jawab Kak Ferio sebelum aku pergi. "Hati-hati."

Aku melambai dari halte bus ke arah jendela yang menampakkan bayangan Kak Ferio yang hitam putih, Kak Ferio balas melambai, dan bus itu pun melaju dengan kecepatan konstan.

MY EX FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang