8. Ayo ke Pertunjukkan Balet

19.6K 481 0
                                    

Pagi-pagi begini, aku mendapat tiga buah SMS dari Rian.

Rian: Pris
Rian: Bisa ketemu?
Rian: Ada yg mau aku omongin.

Rian ngajak ketemu? Ada apa ya? Aku tadinya ingin membalas, omongin aja lewat SMS atau telepon, tapi kalau Rian sudah bilang 'ingin ketemu', pembicaraan itu artinya sangat penting. Jadinya aku tolak secara halus.

Aku: Maaf, Yan. Aku gak bisa, ada urusan.

Aku kirim saja SMS singkat itu. Rian pasti mengerti. Aku beralih pada dua adikku yang nampak sudah siap berangkat.

"Gimana adik-adik Kakak? Udah siap?" Aku bertanya pada mereka yang sudah tampil cantik mengenakan baju balet khas anak kecil. Di belakangnya ada sayap kupu-kupu yang aku beli kemarin lewat online shop.

Pagi-pagi tadi juga aku merias wajah kedua adikku. Tidak menggunakan make up menor, tetap tipis, tapi cantik.

"Ayey kapten." Clara dan Claudia berseru girang, mereka mengangkat tangan mereka sebagai tanda hormat.

Acaranya masih dua jam lagi, sekarang masih jam enam pagi. Tapi, aku berangkat sekarang, tidak apa-apa lah nunggu di sana. Lagian Bandung juga rawan macet apalagi weekend begini. Kucek ponsel, Rian membalas SMS dengan emotikon sedih, lalu bilang supaya aku berhati-hati di jalan. Dia menawarkan ingin menemaniku, kubilang tidak usah.

Sesampainya di sana, ternyata sudah ramai oleh anak-anak berpakaian balet. Lucu sekali. Clara dan Claudia langsung bergabung dengan teman-temannya, juga didampingi oleh Bu Erin. Aku tiba-tiba saja kebelet pipis.

"Ara, Udi, Kakak ke toilet dulu, ya. Kalian jangan kemana-mana." Aku berucap, tapi nampaknya dia tidak dengar.

TK Melati tidak terlalu luas, jadi aku gampang mencari letak toilet, lagipula di sini banyak panah-panahnya. Seperti ruang guru, panahnya mengarah ke barat. Ruang kepala sekolah ke timur. Dan toilet sendiri ke arah timur laut.

Di sana banyak ibu-ibu yang merapikan kerudung di cermin, antrean toilet ternyata lama juga. Aku menunggu sekitar lima menit baru saja dapat bagian. Lalu keluar sambil menenteng tas tangan.

Aku berjalan ke tempat Clara dan Claudia tadi kutinggalkan. Betapa kagetnya aku, begitu melihat adik-adikku digendong oleh orang lain! Dia ... Om Aryo. Aku berlari ke arah mereka.

"Lepasin!" Aku berteriak sekencang-kencangnya.

"Kakak kenapa?" Claudia yang digendong oleh lelaki brengsek itu bertanya polos.

"Om ini baik loh, Kak. Dia ngasih permen ini." Clara menunjukkan permen lolipop yang tengah dijilatinya.

"Buang!" Aku memerintahkan Clara membuang permen itu. Tapi Clara terus menjilatinya. "Ara gak nurut ya sama Kakak, buang sekarang juga!"

Clara pun membuang permen itu lalu menangis karena kubentak.

"clara, claudia, ayo pulang." Aku berseru, tidak peduli ada banyak pasang mata yang menonton kejadian ini.

Akhirnya Om Aryo bersuara, "oh jadi namanya Clara? Yang ini Claudia?" Ia menatap mereka satu per satu. Suara itu. Suara yang sama yang kudengar lima tahun lalu.

Aku mengabaikan pertanyaan itu, langsung saja aku tarik Claudia dari gendongan Om Aryo. Dan kutarik tangan Clara yang masih menangis. "Kita pulang."

"Kok pulang, Kak?" Claudia kebingungan.

"Nanti Kakak jelasin di rumah."

Mimpi burukku selama ini akhirnya datang juga. Ternyata benar yang aku lihat di mall kemarin itu adalah Om Aryo. Astaga. Kini dia juga sudah mengetahui letak sekolahan adik-adikku. Aku tidak mau mereka mengalami apa yang aku alami dulu.

Om Aryo di belakang melambai ke arah Claudia. "Dadah Gadis Kecil, nanti Om kasih permen lagi yaaa ...."

Claudia dengan bodohnya mengangguk.

***

Sesampainya di rumah, aku menyuruh Clara dan Claudia masuk ke kamar mereka. Aku bilang jangan keluar sampai aku bilang boleh keluar. Mama kebetulan ada di dalam, belum berangkat bekerja.

Ia sedang memasak makan siang untuk kami nanti.

Aku menghampirinya.

"Loh kok udah pulang?" Mama bertanya lembut.

"Ma, aku tadi lihat dia, Ma." kataku membuka obrolan.

"Dia siapa?"

"Om Aryo!"

"Ah, itu halusinasi kamu aja kali." Mama memindahkan nasi goreng dari katel ke piring besar.

"Tadi malah dia gendong Claudia."

"Coba kamu tenang dulu, kita duduk di meja makan." Mama menggandeng tanganku supaya aku ikut dengannya.

Kami pun duduk di meja makan, saling berhadapan. Aku menceritakan kronologis kejadian tadi mulai dari toilet, sampai akhirnya bertemu, dan bertengkar sedikit dengannya. Mama agak kaget waktu mendengar penuturanku.

"Aku gak mau Clara sama Claudia ngalamin apa yang aku alamin." Aku mulai tersedu, air mata perlahan meluncur dari bola mataku.

Mama mengambil ponselnya dari tas tangan, lalu ia memencet sederet nomor di sana.

"Mama mau ngapain?"

Mama tak menjawab, aku dengar ada nada sambung, satu, dua, dan barulah teleponnya diangkat.

"Halo, dengan pihak kepolisian Jakarta Pusat? ... Ya, ini saya Lania Larasati ... apakah benar Bapak Haryono sudah bebas?"

Mama berbincang agak lama. Kemudian ia menatapku seolah kaget. Ia menutup ponselnya dengan agak melempar ke arah meja.

"Apa katanya, Ma?" tanyaku penasaran.

Mama menundukkan kepala frustasi. "... ternyata bener ... Om Aryo sudah bebas ...."

A/n: aku gak ngerti knp tiap aku copas cerita dari word ke wattpad, si italic atau bold nya gak pernah nyangkut..... jadi aku edit aja sengeliatnya aja wkwkwk💨

MY EX FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang