26. Harusnya Dia Mengerti

10.6K 341 6
                                    

Beberapa hari sudah berlalu semenjak kejadian di pesta ulang tahun Franda. Aku juga sudah meminta maaf kepada Franda karena aku pikir aku sudah menghancurkan pestanya. Tapi jawaban Franda malah, "apa sih lo? Kayak ke siapa aja! Kita kan sahabat, lagian ini bukan sepenuhnya salah lo juga."

Namun, tetap saja aku merasa bersalah.

Alona sempat menyarankan supaya aku tidak pergi ke sekolah dulu untuk meredam situasi sekolah yang semakin panas membicarakanku. Aku tidak mau, aku memilih pergi ke sekolah dengan wajah murung. Karena pekan ini adalah hari-hari UAS, aku tidak mau susulan. Aku benci susulan.

Aku juga benci hari-hariku di sekolah. Yang ingin kulakukan adalah cepat pulang.

Tidak ada Rian. Tidak ada teman, selain Franda dan Alona. Maksudku, seperti seisi 11 IPA 3 berkomitmen untuk memusuhiku. Juga, tidak ada hari tanpa bisik-bisik dari siswa-siswi, terutama cowok. Seperti:

"Eh, itu dia bukan, sih? Yang jadi simpenan om-om?"

"Bayarannya berapa, sih emang? Jutaan? Ratusan juta?"

"Ya pasti dong! Bodinya aja oke gitu!"

Aku malu sekali, karena namaku mendadak menjadi dikenal seantero sekolah. Entah ini akan berlangsung sampai kapan. Lebih dari itu, aku beruntung sekali mempunyai Franda dan Alona di sampingku ketika tidak ada seorang pun yang ingin bersamaku.

"Ke kantin, yuk?" ajak Franda ketika jam istirahat berlangsung.

"Nggak, ah." Aku menolak dan memilih memainkan ponselku.

"Ayuuuk, gue traktir!" Franda bersikeras menarikku dari kursi. Lalu ia bawa aku ke kantin.

Kami bertiga berjalan ke kantin dengan malas, tentu saja yang malas itu hanya aku. Karena aku tahu pasti ada saja mulut-mulut nakal yang akan mengomentariku ...

"Eh Franda, kok lo mau sih deket-deket sama pelacur???" Itu suara Vido, anak kelas 11 IPA 4. cowok yang terkenal bandel dan sulit diatur. Tuh kan, padahal aku baru saja bergerak tak jauh dari kelasku.

"Diem, Do, atau gue tempeleng." Franda berseru galak.

Kami berjalan lagi ke kantin, kali ini lebih cepat.

"Mau pesen apa lo?" tanya Franda saat kami sampai di kantin.

"Apa aja deh," kata aku lemas.

"Jangan lemes gitu dong, Pris."

Pris ... hmm aku rindu dipanggil Pris oleh Rian.

"Gue pesenin mie ayam pedes, ya." Franda pun berlalu ke gerobak mie ayam tanpa menunggu persetujuanku.

Hidungku tak lama mencium bau yang tak asing. Aroma ini ... bau tubuh Rian. Parfumnya sangat aku kenal, sangat maskulin dan wangi. Aku menolehkan wajah, seperti dugaanku, Rian di sana. Berdiri sambil merangkul pacar barunya. Kalian pasti tahu siapa, Vanka.

"Lo gapapa, Pris?" tanya Alona yang mengikuti arah pandangku.

Aku diam saja. Kalau maksud Rian itu adalah ingin membuat aku panas, dia berhasil. Kalau dia menginginkan aku cemburu, dia sangat berhasil.

"Gue mau pergi dari sini, Na." kataku lirih. "Gue mau ke kelas."

Tanpa menunggu balasan dari Alona, aku sudah melenggangkan kakiku pergi dari kantin itu. Rian pasti menyadari kepergiaanku, tapi dia tidak memanggilku sama sekali. Dia membiarkanku pergi. Sudahlah Pricilla, jangan bermimpi! Dia sudah membencimu! Dia bahkan tak sudi lagi menyebut namamu.

Itu tidak begitu sakit, yang sakit itu ketika semua pikiran-pikiranku menjadi kenyataan. Poor you, Pricilla.

Selanjutnya, aku tidak mau menjadi wanita lemah lagi. Hari-hariku aku isi dengan menyibukkan diri bersama pelajaran. Aku meningkatkan nilai-nilai UAS-ku. Jika nilai raporku bagus, bisa saja aku dapat SNMPTN dan mewujudkan mimpiku untuk kuliah di ITB. Untuk jurusan, aku memilih STEI, karena aku suka komputer, dan cita-citaku adalah ingin menjadi programmer yang andal.

MY EX FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang