Beberapa hari setelah itu adalah hari upacara bendera.
Itu adalah hal paling malas kulakukan di hari Senin, apalagi cuaca lumayan panas hari ini. Tetapi, beruntung ada benda setengah bulat bernama topi, jadi aku sedikit memodifikasinya di kepalaku supaya tidak ada sinar mentari yang mengenai wajahku.
Pidato kepala sekolah hari ini tentang kebersihan. Klasik.
Franda berdiri di sebelahku, sementara Alona berdiri di hadapanku. Mereka tampaknya sama-sama bosan dan pegal. Sama, aku juga!
Mata Alona mengitar ke sekeliling, ia berusaha menemukan pengawas upacara, ternyata ia sedang sibuk menyeret anak-anak yang seragamnya kurang lengkap. Barulah ia berani bicara sambil sedikit melirik ke belakang, "lo udah ngeliat Rian?"
Aku menjawab pertanyaan yang nampaknya di arahkan padaku. "Belum, kenapa emangnya?"
Franda menyenggol, "parah banget mukanya, bonyok gitu, banyak luka, kenapa sih dia?"
"Hah?" Aku kaget. "Separah apa emangnya?"
"Lo liat sendiri aja deh. Kalo dari sini sih gak bakal keliatan, anak IPS kan di sono, jauh banget." Franda mendesah panjang.
Anak IPS memang barisannya jauh dengan anak IPA. Lapangan SMA Tanjung Raya kan seluas lapangan sepak bola, jadi muat buat tiga angkatan, dan tidak bakal desak-desakkan.
"Betewe kan lo pacarnya, masa gatau."
"Udah deh ah." kataku membalas perkataan Alona sinis.
"Dia itu kenapa sih? Bad boy bukan, tapi kenapa luka-luka begitu?" Alona bertanya lebih kepada dirinya sendiri.
"Sebulan apa dua bulan yang lalu dia juga pernah kan kayak gitu? ... Awwww, sakit Pak!"
Franda duluan berteriak pelan, baru aku, disusul Alona. Ternyata yang mencubit lengan kami adalah Pak Agung, si guru killer yang paling killer sesekolahan SMA Tanjung Raya.
"Bagus ya para pahlawan sudah capek-capek memperjuangkan kemerdekaan dan kalian tinggal berdiri hikmad aja susah, malah mengoberol." kata Pak Agung dengan nada jawa yang khas.
Kami pun di bawa ke belakang lapangan buat dihukum. Haduh, mana di belakang panas matahari makin menjadi lagi.
Sial.
***
Istirahat pertama, Rian tidak nyamper ke kelasku. Biasanya kami memang istirahat di kantin bareng. Kok tumben dia nggak ke sini? Nggak ada kabar pula.
Jadi, aku yang berinisiatif buat nyamper ke kelasnya. Ya, walau aku tahu IPS 6 itu letaknya jauh banget dan pelosok banget. Tapi, untungnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku juga kepo apa yang terjadi sama Rian, apalagi setelah obrolan sebelum kami bertiga dicubit oleh Pak Agung tadi pagi.
XI IPS 6
Sesampainya di situ, aku celingak-celingukan. Ya, karena aku tidak kenal siapa-siapa di sini. Jadi, aku merasa asing.
Firman melihat ke arahku. Oh ya, ralat, aku kenal seseorang di sini, namanya Firman, dia dulu sempat bergabung ke klub paduan suara, tapi sayangnya tidak bertahan lama, begitu juga aku.
Firman kemudian menghampiri aku. "Pacarnya Rian, ya?"
"Boleh panggilin Rian?" pintaku polos walau aku tidak suka disebut dengan embel-embel begitu.
Firman menyapu pandangan ke penjuru kelas, kemudian melapor, "Riannya lagi gak ada."
"Kemana?"
"Gak tau."
Firman berteriak di depan kelas, "ada yang tau Rian kemana?"
Seorang cewek yang kebetulan duduk paling belakang menyahut, "Rian udah pulang."
Firman mengulang kalimat si cewek, "udah pulang katanya."
Aku bertanya lagi, "kapan?"
Si cewek menjawab, "barusan."
"Kok gue ga liat ya?" Firman bingung lebih kepada dirinya sendiri.
"Oke makasih ya."
Aku berlalu dari kelas itu, kalau memang Rian baru saja pergi, pasti dia belum jauh dari sini. Aku buru-buru keluar sekolah dengan izin mau fotokopi, untungnya guru piket percaya, padahal aku tidak membawa kertas apa-apa.
Aku menengok ke kiri dan kanan, tapi tidak ada. Aku berlari ke lapangan parkir, mencari motor Rian, tapi tidak ada juga. Apa mungkin ia tidak membawa motor, ya?
Lalu aku cari ke jalan besar. Siapa tahu dia masih ada di sana. Tapi nihil.
Hingga aku berusaha mencari ke gang yang ada di sebelah sekolah, gang itu lumayan sempit, hanya bisa masuk motor satu. Aku tidak yakin Rian berada di sini, sebab di sini katanya angker sebab banyak rumah-rumah yang tidak dihuni.
Tiba-tiba saja aku ditarik oleh tangan kekar.
"RIAN?!" pekikku ketika tahu yang menarik adalah dia.
Rian menarikku ke sebuah bangunan belum jadi, tempat itu gelap dan dipenuhi serangga. Rian sudah membawa tas. Lalu aku mengecup bibirnya singkat.
"Kamu ngapain?" tanya Rian.
"Rian aku tuh khawatir banget sama kamu. Ini kenapa? Muka kamu kok banyak lukanya gini? Ayuk kita beli obat merah." Aku berdiri agak panik, kebetulan di jalan besar ada warung yang serba ada.
"Pris, gausah." Rian menahan. "Nanti juga sembuh sendiri."
"Kamu sebenernya kenapa?" Sekali lagi aku bertanya, kuusap wajahnya yang penuh luka. "Apa sama ayah tiri kamu lagi?"
Rian mengangguk, dari sorot matanya, kurasa ia ingin menangis. "Aku mau ketemu sama Ibu aku, Pris. Aku gak kuat lagi sama perlakuan Ayah aku."
Aku memeluknya dari samping, merengkuh otot-ototnya yang kekar itu. Ia bersandar ke dadaku. "Kenapa nggak cerita ke aku sih? Kalo ada apa-apa tuh cerita, jangan main ilang aja, emang aku gak panik apa tadi."
Lelaki itu tertawa. "Kamu lucu kalo panik gitu." Rian mencium bibirku agak lama.
"Lucu lucu! Aku lagi khawatir sama kamu, Yaaan," kataku manja.
"Iya tahu, tapi lucu." Ia menjawil pipiku yang memerah.
"Apa kamu mau tinggal sementara di rumah aku?" Aku menawarkan, aku juga tahu kalau Kak Flara sudah kembali ke Yogyakarta buat meneruskan kuliahnya. Kupikir Mama juga tidak akan keberatan jika Rian menginap beberapa hari. Lagipula di bawah masih ada kamar kosong.
Rian menggeleng. Dasar keras kepala!
Lalu ia memelukku lagi.
"Udah ah peluk-pelukkannya. Mending sekarang kamu ke rumah aku, aku mau obatin semua luka-luka kamu." Aku bersikeras tentang permintaanku kali ini, tidak boleh ada penolakan. "Tuh ada satu ... dua ... tiga ... sebelas ... seratus," Aku menghitung luka-luka itu asal.
Rian tertawa dan akhirnya mengangguk patuh mengikuti keinginanku.
"Anything you want, Princess."
🐈🐈🐈
A/n: hehehehehehe aku ngetik part ini sambil nyemil guys. Tapi asli enak bgt ini snack!!!
Kalian harus coba!!! Aku nyetok banyak di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX FATHER
Romance18+ Enam tahun sudah berlalu, kini ia kembali mengusik hidup kami. Seri kedua dari My Step Father. Hak cipta dilindungi undang-undang.