"Udah malem, aku anterin kamu pulang, ya?"
Sekitar jam setengah delapan malam percakapan di sofa itu berhenti, aku memilih pulang. Sekarang aku memakai tas menyamping warna merah muda, sudah memakai sepatu adidas, bersiap untuk pulang. Suhu ruangan yang tadinya panas, begitu keluar jadi dingin.
"Ga usah Yan, aku pesen taksi aja di depan kayak pas tadi dateng." ucapku menolak tawaran Rian sehalus mungkin. Pokoknya sekarang yang aku inginkan hanyalah pulang ke rumah tanpa dibuntuti siapa pun.
"Saya juga kebetulan mau ke supermarket depan beli rokok. Gimana kalau kita bareng aja?" Om Aryo tiba-tiba ada di depan pintu. Sial.
"Tuh kamu bareng Ayah aja," Rian mengulang tawaran ayahnya. "Aku juga khawatir kalo kamu pulang sendirian malem-malem gini."
"Taksi aja gapapa kok." Aku menolak satu kali lagi.
"Bahaya loh anak gadis cantik seperti kamu sendirian larut malem."
Terpaksa aku iyakan tawaran tersebut. Kalau aku tolak, nanti dikiranya aku tidak menghargai ayah kandung Rian.
Di mobil, kami saling diam. Aku berharap kami cepat menjauhi pekarangan rumah Rian, baru aku bisa minta diturunkan. lalu aku akan mencari taksi dan pulang sendirian.
Ketika sudah sampai jalan raya besar, aku pun berbicara, "aku mau turun."
"Tidak bisa." Om Aryo tetap menginjak pedal gas.
"Dasar ayah gadungan." Aku mengumpat ketika mobilnya melaju makin kencang.
"Kenapa bicara seperti itu? Aku memang ayahnya Rian."
"Lalu siapa ibu kandung Rian?" tanyaku balik seolah menantang.
"Kalau itu ...," Om Aryo berpikir sebentar sebelum menjawab. "Oh ya, Lania apa kabar? Dia masih bodoh seperti dulu?"
"Udah deh gak usah banyak basa-basi, turunin aku sekarang, atau aku lompat!" ancamku.
Kalau dipikir-pikir ngapain juga aku ngobrol dengan orang sialan macam ini. Aku berusaha membuka pintu mobil supaya bisa keluar, tapi terkunci.
Kubuka jendela mobil, lalu aku tertampar angin malam.
"Hei, masukkan kepalamu!" Om Aryo memerintahkan.
"Berhenti! Aku bilang berhenti!"
Om Aryo berhenti di pom bensin, akhirnya ia menurut juga. Tepat di depan pom bensin ada sebuah rumah makan. Kulirik tangki gas, masih full.
"Mau ngapain?" tanyaku ketus.
"Laper, kan?"
"Aku mau pulang sendirian." Aku membuka seat belt dan turun dari mobil. Kemudian Om Aryo ikut turun, ia mengejarku, dan menarik pergelangan tanganku. Aku tidak terima, tapi sayangnya ia terlalu kuat, otot-ototnya besar, gadis lemah sepertiku mana bisa melawannya? Ia mendekat dan jijiknya malah berusaha menciumku.
"Stop it! Gila kamu! Ini tempat umum." Aku berteriak. Sayangnya jalanan sepi, tidak ada orang di sini. Lihat Rian, lihat apa yang ayah kamu perbuat padaku.
"Ya udah gimana kalo kita main bentar ke situ?" Om Aryo menunjuk sebuah tempat penginapan nakal dengan dagunya. Letaknya di sebelah rumah makan, di situ ada papan nama besar dengan lampu yang berkelap-kelip.
"Nggak sudi, lebih baik aku makan bangkai."
"Ayolah, Sayang ... seperti dulu lagi." Om Aryo memajukan bibirnya, aku menjauhkan diri.
"Aku telepon Rian!" kataku nekat mengambil ponsel dari tas. Untungnya masih ada sisa baterai.
Satu detik, dua detik, tiga detik, lalu terangkat. "Yan ... aku minta jemput boleh gak? Mobil om—maksudnya ayah kamu mogok."
Rian bertanya macam-macam dulu, ia khawatir terjadi apa-apa denganku atau ayahnya itu. Setelah itu baru ia mengiyakan permintaanku. "Oke, aku ke sana sekarang, By."
Beruntungnya Rian langsung mau menjemputku. Kusebutkan aku berada di depan pom bensin dekat rumahnya, lalu ia secepatnya akan ke sini. Aku tidak menghiraukan Om Aryo. Ia sudah tidak berani macam-macam kalau tahu Rian akan kemari.
Tak lama, sebuah motor menderu mendekati kami. Aku kenal betul kalau itu adalah motor Rian. Dari platnya pun aku sudah hafal, DR14N. Rian melepas helm-nya, menampilkan rambutnya yang berjambul.
"Mobil Ayah mogok?" tanya Rian pada Om Aryo agak panik. Kuharap Om Aryo mau bekerja sama. Dan Om Aryo mengangguk. "Ya udah aku anterin Pricilla dulu ya, Yah. Yuk, Pris."
Aku sudah naik motor Rian ektika ia menyerahkan helm padaku, helm pink yang biasa dikenakan olehku dan hanya aku. Aku menatap wajah bengis Om Aryo sekali lagi, ia memandangku dengan tatapan aneh. Kupalingkan wajah, dan berusaha memastikan kalau aku tidak diikuti oleh siapa pun.
"Aku peluk kamu, ya." bisikku pada Rian di tengah udara malam.
"Iya." Rian mengangguk. "Eh kamu gak dingin pake kaus gak ada tangannya gitu? Mau pake jaket aku?"
"Gak usah."
"Nanti sakit."
"Udahlah, anterin aku aja sampai ke rumah." kataku agak ketus. Lalu Rian mengikuti apa yang aku perintahkan.
Kami sudah sampai di rumahku. Kulepaskan helm pink itu dan mengembalikannya kepada Rian.
"Yan."
"Hm?"
"Aku rasa dia bukan orang baik, deh." Aku tidak tahu sopan atau tidak bicara begini, apalagi di hari pertama Rian bertemu dengannya.
"Dia siapa?"
"Ya dia ... ayah kandung kamu. Om Jeri."
"Kamu tau dari mana kalau dia gak baik? Kamu ... kenal?" terka Rian.
"Haa?" Aku kaget. Ya juga, kalimatku ini sekaan berbicara bahwa aku sudah mengenalnya lebih dulu sebelum Rian mengenalnya. Buru-buru aku menimpali, "enggak, cuma ya firasat aku aja."
"Udahlah Pris, kamu gak perlu khawatirin aku, aku baik-baik aja." Rian berusaha menenangkanku.
Ya, mungkin Rian bakal baik-baik saja, tapi bagaimana dengan Om Aryo? Apakah ia akan bertingkah baik-baik saja pada Rian?
"Tap-tapi, Yaan ...."
"Tapi apa lagi?"
"Firasat aku kan suka bener."
Rian menoyor kepalaku, "halah kamu ini,"
"Terus kamu bakal tinggal sama dia?" Sekali lagi aku bertanya.
Dan jawaban Rian benar-benar di luar dugaanku. "Kayaknya iya."
A/N: yeayyyy happy 1k views!<3
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX FATHER
Romance18+ Enam tahun sudah berlalu, kini ia kembali mengusik hidup kami. Seri kedua dari My Step Father. Hak cipta dilindungi undang-undang.