Jalan-jalan sore yang ditawarkan Rian ternyata benar-benar dilakukan dalam pengertian secara harfiah.
Kami dari tadi cuma jalan-jalan di taman dekat kompleks rumahku. Berputar-putar, tanpa obrolan. Rian pasti sebal karena sudah tiga hari, tapi aku masih marah.
Aku juga bingung bungkusan apa yang ada di tangan Rian. Aku curiga itu buatku, jangan geer Pricilla! Siapa tahu itu buat ayah kandung yang amat dia sayangi itu. Iya, itu benar. Rian juga belum pernah sih memberi aku barang apa pun selama kami pacaran.
"Duduk di situ yuk," ajak Rian yang langsung menyeretku ke bawah pohon. Di sana lokasinya sangat sepi, tidak ada yang mengunjungi tempat ini. Tertutup pohon juga, jadi tidak ada yang bisa melihat kami.
Ketika kami sudah duduk bersebelahan, barulah Rian berbicara. "Selamat sebelas bulan jadian, Pacarku yang Habis Ngambek!!!" kata Rian sok semangat. "Maaf ya kemarin pacar kamu ini udah bikin kamu kesel,"
Astaga ini kan tanggal 12! Sampai lupa kalau ini tanggal aku dan Rian mulai jadian sebelas bulan yang lalu!
Rian lalu menyerahkan bungkusan yang tadi ia tenteng kemana-mana kepadaku. Tuh kan ini buatku! Isinya apa ya? Bungkusan itu berbentuk kotak berwarna coklat.
Tapi aku masih cemberut. "Terus kenapa kamu nggak ngehubungin aku dari tiga hari yang lalu?" tanyaku ketus.
"Maaf, Sayang. Aku tuh ngerjain kamu kemarin,"
"Ihhhh kamuuu!" kataku sambil mencubit pelan perutnya. "Nyebelinnn,"
"Sengaja bikin kesel, karena mau kasih ini." kata Rian menunjuk kotak berwarna coklat itu. "Kan umur kita pacaran udah nambah hari ini,"
"Tumben kamu ngasih-ngasih aku kayak gini," Aku mulai membolak-balikkan kotak itu, menerka-nerka ... apa ya isinya? Kotak ini sebesar kotak sepatu sih, tapi masa iya isinya sepatu?
Karena terbakar penasaran, aku langsung membuka kotak coklat itu. Lalu ketika dibuka kotak itu ternyata kotak sepatu bermerk adidas, tetapi ketika dibuka isinya lain, isinya adalah kotak lagi. Ketika kotak itu dibuka, isinya kotak lagi. Sial, aku dikerjain!
Akhirnya kotak terakhir, aku yakin sekali. Karena bentuknya sekarang datar. Ini hadiahnya? Lalu aku buka bungkusan yang melapisi benda tersebut. Dan isinya adalah sebuah CD.
Pelapis CD tersebut bertuliskan band yang aku sukai sejak lama. Nirvana. Dengan Album Nevermind, di dalamnya ada salah satu lagu favoritku, Come As You Are.
Aku menghela napas, kirain apa! "Ngapain sih, Yan, ngasih aku CD Nirvana? Kamu kan tau sendiri aku punya tiga yang kayak gini di rumah?" Aku mulai kecewa, kecuali Rian memberikanku CD Nirvana yang asli—yang sudah aku buru sejak lama, bukan bajakan kayak gini.
"Cuma pengin kamu lihat aja tandatangan di sini," Rian menunjuk bagian belakang pelapis CD itu yang sudah bertandatangan semua anggota band Nirvana.
Tiba-tiba saja aku terkejut bukan main. Apalagi ketika melihat ... astaga!!! Jangan-jangan ...?
"I—Ini serius, Yan?" Aku membelalakkan kedua bola mataku.
"Nirvana Come As You Are original!!!" kata Rian, berhasil mewujudkan mimpiku buat memiliki CD asli Nirvana.
Selanjutnya percakapan kami berisi teriakan dariku. Juga ucapakan terima kasih tak henti-hentinya. Aku sangat histeris. Bagaimana Rian bisa mendapatkan CD asli ini? Astaga!!!
"Terima kasih, Sayang." Aku langsung memeluk tubuhnya.
"Suka?" tanya Rian yang sebetulnya tidak perlu aku jawab lagi.
"Suka! I love you!"
Kalimatku dibalas dengan Rian yang menempelkan bibirnya padaku, aku membalas menciumnya. Ciuman yang aku rasakan kali ini lain, tidak seperti biasanya. Ciuman yang Rian berikan ... seperti apa ya? Penuh kasih sayang dan penuh perasaan. Lembut, nyaman, tidak kasar sama sekali.
"I miss you so much." Rian membisikan kalimat itu di telingaku.
"Aku juga." jawabku, ikutan berbisik.
Rian menjatuhkan badanku ke rumput sambil terus menciumku. Rian berada di atasku. Aku memegang kerah bajunya, menikmati sore di taman ini. Pasti tidak akan ada yang melihat kami melakukan itu. Tapi kami harus bergerak cepat.
Aku bangkit ke posisi duduk, dan duduk di pangkuan Rian.
"Kenapa?" tanya Rian.
Aku langsung membuka kancingnya sambil terus mencium bibirnya. Biarkan kali ini aku yang memimpin. Rian mengerang penuh nikmat, ia memeluk pinggangku erat. Kusentuh dadanya yang bidang. Lalu turun ke area paling sensitif miliknya, yaitu bagian bawahnya yang sudah menegang sedari tadi.
Aku keluarkan benda panjang itu. Dan langsung membuka ritsleting celana jinsku. Sudah kubilang, kan kita harus bergerak cepat?
Kumasukkan itu ke milikku, sementara kami terus berciuman. Aku dorong tubuhku ke arah dadanya supaya miliknya bisa masuk lebih dalam.
"Ouuuh," Rian mengerang lebih dalam lagi. "Feels so good than before,"
"Sttt, jangan keras-keras," kataku pada Rian. Aku cium bibirnya lagi sementara dia meremas payudaraku dengan sebelah tangannya, karena tangannya yang lain memeluk pinggangku erat.
Aku berusaha memuaskan dia sebisaku kali ini ... karena mungkin ini yang terkahir, Yan.
Ya, kita begini.
Mungkin ini yang terakhir.
***
Ingatanku kembali ke masa di mana kencan pertamaku dengan Rian berlangsung.
Kepalaku sangat pusing waktu itu karena belum makan malam, rasanya ingin aku muntahkan puluhan pop corn yang masuk ke tubuhku. Tetapi aku dan Rian tetap berjalan ke parkiran malam itu, lalu tak sengaja ada bola-bola lampu unik berwarna putih yang berdiri di sepanjang tempat kami melangkahkan kaki.
"Yannn," panggilku pada Rian.
"Kenapa, Sayang?" jawab Rian lembut.
"Lucuuu," kataku sambil menunjuk bola lampu ukuran besar itu.
"Silau tau, nggak? Sinarnya terang gitu, malah kamu perhatiin sedeket itu."
"Ini bola lampu yang dipake buat ngeramal bukan sih, Yan?" Aku berhenti di depan salah satu bola lampu yang sinarnya menurutku paling terang daripada yang lain. "Kalo iya aku mau nanya,"
"Pris udahlah, kamu belum makan malem, makanya kamu jadi nggak jelas gini," Rian menyeretku yang sudah entah berpikir ke arah mana. "Yuk kita makan dulu di restoran nasi goreng deket sini, nanti kamu sakit lagi, mana kamu nggak pake jaket, rok kamu pendek,"
"Tapi Yannnn aku mau tanyaaaa," Aku mendekati bola lampu yang sinarnya paling terang tadi. Rian juga ikut.
Aku pura-pura jadi ahli ramal, aku gerakkan kedua tanganku di antara bola lampu. Pertanyaan pertama, "apakah Rian adalah tipe cowok setia?" tanyaku seakan pada bola lampu.
Di sebelahku Rian menjawab pertanyaan yang bukan untuknya, "ya jelas dong."
Pertanyaan kedua, "apakah Rian bakal sabar menghadapi aku?"
Rian di sebelah menjawab lagi, "pasti lah, kalo enggak, aku enggak mungkin ada di sini sekarang,"
Aku sempat berpikir sebentar, tapi tidak lama. Pertanyaan ketiga, " ... apakah aku dan Rian akan terus bersama?" tanyaku asal.
Satu detik ... dua detik ... tiga detik ....
"Kok nggak ada jaw—" Pertanyaanku terhenti ketika tiba-tiba saja lampu itu padam.
A/n: maaf ya guys kalo agak-agak cheesy
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX FATHER
Romance18+ Enam tahun sudah berlalu, kini ia kembali mengusik hidup kami. Seri kedua dari My Step Father. Hak cipta dilindungi undang-undang.