Bagian 5 - Levin si Raja Bastard

14.4K 832 10
                                    

Ini ada adegan 18+ tapi masih aku jabarin dalam versi umum. So,, happy reading! 😘

-o0o-

Levin masuk ke dalam lift apartemennya sambil menggendong Arletta. Jarinya menekan tombol dengan angka 20 sebagi tempat pemberhentian terakhir. Sementara Arletta masih menyerukkan kepalanya di sela leher Levin, membiarkan dirinya menghirup lebih dalam aroma yang selalu ia rindukan. Bagi Arletta ini bukanlah mimpi pertamanya, ia sudah sering memimpikan Levin yang memperlakukannya dengan lembut bahkan memujanya. Tapi kali ini mimpinya terasa begitu nyata, aroma dan sentuhan Levin terasa begitu nyata dan Arletta tidak ingin semua ini berakhir.

"Aku tidak pernah ingin mimpi ini berakhir." Gumam Arletta dengan suara lirih. Levin hanya memandang Arletta dan semakin merapatkan tubuhnya. Setelah bunyi dentingan, lift itu pun terbuka dan Levin segera membawa Arletta menuju apartemennya.

Levin membaringkan tubuh Arletta di atas ranjangnya. Wajah gadis itu memerah karena pengaruh Alkohol dan Levin menyukai itu. Kemudian dengan perlahan Levin mulai melumat bibir Arletta, merasakan setiap inci wajah gadis itu. Membiarkan nafas mereka saling memburu mencari oksigen, sementara dirinya terus menjelajahi setiap lekuk tubuh Arletta. Tubuh yang begitu sempurna, bagaikan manekin hidup yang begitu indah.

Bibir Levin mula turun dan menjelajahi leher sampai dada Arletta, sementara jarinya mengelus perut datar Arletta. Sesekali ia melirik mimik wajah Arletta agar mengetahui apakah gadis itu juga menikmati permainannya dan Arletta memang menikmatinya, terbukti dari bagaimana Arletta mulai mendesah dan meneriaki namanya. Levin mengehentikan aksinya saat jari-jari lentik itu menahan wajahnya, membuatnya menatap Arletta yang tampak menatapnya dengan sendu.

"Katakan padaku, apa kau membenciku?" Tanya Arletta yang masih memandang lurus Levin yang tengah berada di atasnya.

Levin terdiam. Ia melihat keseriusan di wajah Arletta. Sedetik kemudian ia menjawab. "Aku tidak membencimu." Jawabnya jujur, meski masih dengan kebingungan.

Arletta tersenyum bahagia. "Aku pun sama. Aku tidak pernah bisa membencimu karena aku begitu mencintaimu." Tangan Arletta naik ke tengkuk Levin dan memeluk leher Levin, mencoba merapatkan tubuh keduanya. Bagi Arletta meski ini adalah sebuah mimpi semu yang akan hilang dan terlupakan saat ia bangun di pagi hari, tapi begini saja sudah lebih cukup untuknya. Nanti saat ia bangun di pagi hari ia akan memulai kehidupan barunya ia akan melupakan Barry maupun Levin, melepaskan segala beban dipundaknya malam ini dan saat sinar matahari membangunkannya di pagi hari nanti.

Ia akan merasa seperti bayi yang baru dilahirkan.

Setelah itu Levin kembali dengan permainannya yang begitu dinikmati Arletta, mereka melakukannya perlahan-lahan seolah ingin merekam setiap moment dan rasanya di dalam ingatan mereka baik-baik. Hingga pada akhirnya keduanya bersamaan mencapai puncaknya.

-o0o-

Arletta merasa tidurnya terganggu karena sinar matahari yang jatuh tepat menerpa wajahnya, membuatnya mau tidak mau berguling kesamping untuk menghindari sinar itu, tapi ia tidak bisa. Tubuhnya tidak bisa bergerak seperti terkunci oleh sesuatu. Jantung Arletta berdebar begitu hidungnya menangkap aroma maskulin yang sudah sangat dihapalnya.

Matanya terbuka dan terlihatlah sosok yang yang paling Arletta inginkan sekaligus paling dihindarinya. Tubuh mereka begitu menempel tanpa ada halangan apa pun dan hal itu sukses membuat wajah Arletta memucat seketika. Ingin rasanya ia berteriak dan membunuh laki-laki yang tengah tertidur pulas sambil mendekapnya itu.

Semalam bukanlah sekedar mimpi yang biasa ia alami.

Oh tuhan.

Kepala Arletta berdenyut seketika. Pikiran-pikiran buruk itu mulai menghantuinya. Bagaimana jika ia hamil? Bagaimana jika keluarganya tahu? Dan apa kabar dengan kariernya yang sedang berada di puncak?

Air mata Arletta jatuh meluncur tanpa dapat ditahannya, terus meluncur hingga jatuh ke kulit lengan Levin. Perlahan mata itu terbuka dan ia tersenyum cerah pada Arletta. Mungkin Arletta akan bahagia jika ia menerima senyum itu, tapi sekarang rasanya senyum itu memberi sayatan pada hatinya.

"Morning!" Sapa Levin dengan suara serak. "Jam berapa ini?" Tanyanya lagi. Ia melepas dekapannya pada Arletta dan sedikit memundurkan tubuhnya.

Arletta diam. Entah mengapa tenggorokannya terasa kering dan dadanya terasa sesak. Ia yakin jika ia bicara sekarang maka bukannya bicara ia pasti akan mengeluarkan isakan maka ia memilih menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Aku ingin mandi. Bisakah kau berbalik?" Tanya Arletta tenang saat ia sudah bisa mengendalikan dirinya lagi.

Levin berbalik tanpa protes dan membiarkan ranjangnya bergerak tanda jika Arletta sudah turun dari ranjangnya kemudian ia mendengar suara pintu terbuka dan tertutup kembali.

Levin menghela nafasnya. Rasanya ia begitu gugup melihat Arletta yang biasanya selalu mencecarnya dengan ucapan pedas mendadak mendiamkannya bahkan enggan melihat wajahnya. Ia sudah sering melakukan kegiatan one night stand dengan model-model papan atas yang lebih cantik dari Arletta, tapi ia tidak pernah merasa begitu gugup saat bangun tidur seperti ini. Perasaannya begitu aneh seperti perasaan bersalah.

Apakah ini yang pertama untuk Arletta? Semalam ia tidak memakai pengaman bagaimana jika Arletta hamil? Dan Bagaimana jika—

"Bisa kau beritahu kita ada dimana? Ron sedang dalam perjalanan menjemputku." Ucapan Arletta begitu tenang. Kini ia sudah kembali mengenakan gaunnya semalam, gaunnya memang kusut tapi tidak terlalu buruk.

"Royal apartment."

Arletta menganggukkan kepalanya sedikit dan kembali bicara dengan handphonenya.

"Let?"

Arletta menahan nafasnya. Sudah lama ia tidak mendengar panggilan itu. Hanya Levin yang memanggilnya dengan ujung namanya.

"Semalam..."

"Anggap saja itu kado ulang tahun dariku." Arletta dengan cepat memotong ucapan Levin. "Jika kau tidak mau menganggapnya sebagai kado  dariku maka anggap saja itu sebagai kecelakaan. Lagi pula aku tahu kita berdua dalam kondisi tidak sadar."

Arletta berjalan ke arah pintu kamar tersebut namun langkahnya terhenti.

"Apa kau akan hamil?"

Arletta tertawa sinis. Jadi itu yang ingin Levin tanyakan. Ia takut dirinya hamil. Apa ia takut dimintai pertanggung jawaban darinya. Arletta tersenyum kecut dan berbalik kebelakang, tampak Levin sudah duduk di atas ranjangnya setengah telanjang.

"Jika itu yang kau takutkan, maka selamat! Aku sedang tidak dalam masa suburku, jadi aku tidak akan hamil.... Lagi pula kau bukan orang pertama untukku." Ia tersenyum miring dan langsung keluar dari kamar itu tanpa ragu.

Setelah keluar dari apartemen itu Arletta langsung menemukan Ron yang sedang berdiri disamping mobilnya. Tanpa banyak bicara Arletta masuk ke dalam mobil dan duduk bangku penumpang. Ron sendiri hanya mengikuti apa yang dilakukan Arletta tanpa bertanya apa pun, dan disaat inilah Arletta bersyukur memiliki manager seperti Ron, yang selalu mengerti dirinya tanpa harus bertanya.

-o0o-

Update again?! 😆😆
Setelah vote pertama bakal aku update! I promise!😎

Darts With The BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang