Bagian 21 - Sad

11.3K 844 77
                                    

Arletta menghentakkan kakinya menuju pintu rumahnya. Kesal karena sejak tadi bel rumahnya tidak berhenti berbunyi padahal ia sedang sangat malas membuka pintu. Mungkin tetangganya yang melakukan itu. Ada wanita tua disebrang rumahnya dan wanita itu tinggal bersama cucunya yang menyebalkan.

Ya, pasti cucu wanita tua itu.

Setelah sampai di pintu Arletta menimang-nimang keputusannya untuk membuka pintu. Ron sedang berada diluar untuk membeli keperluan bulanan mereka. Bagaimana jika itu wartawan. Arletta mau bilang apa? Kabur dari indonesia karena dihamili bastard?

Jelas tidak mungkin, bukan.

Lagi... Nada bel itu tidak berhenti terdengar dan membuat Arletta tersentak hingga langsung membuka pintu tanpa pikir panjang.

Matanya membulat saat menemukan laki-laki itu disana.

Tanpa bicara apa pun laki-laki itu langsung memeluknya dengan sedikit menjaga jarak agar perut Arletta tidak terhimpit.

"Maafkan aku."

Arletta hanya diam. Isi kepalanya mendadak kosong. Kenangan hari pernikahannya yang berakhir tragis perlahan mulai muncul memenuhi dikepalanya.

Itu sakit.

"Aku tidak bermaksud meninggalkanmu..., saat itu seluruh keluargaku menentangku untuk menikahimu saat tahu kau hamil. Maaf... Saat itu pikiranku sangat kacau." Barry bicara dengan memburu.

Arletta menatap perkarangan rumahnya. Di depan pagar rumahnya terdapat mobil hitam dan seorang wanita cantik yang bersetelan kantor. Arletta mengenal wanita itu. Dia sekretaris Barry. Wanita itu terus memalingkan wajahnya... Arletta tahu wanita cantik itu memiliki setitik perasaan untuk Barry. Gadis itu merelakan segalanya untuk Barry. Memberikan hal-hal yang tidak akan ada gadis lain yang sanggup melakukan hal itu untuk orang yang dicintainya.

Dan Arletta selalu merasa menatap dirinya di dalam wanita itu.

"Saat itu pikiranmu kacau dan kau memilih untuk tidak pernah datang." Gumam Arletta.

Barry diam. Dan Arletta tahu jika itu pertanda iya. Laki-laki itu memang masih menyimpan beban untuk menikahinya. Tentu saja Barry akan mendengarkan ucapan keluarganya. Arletta mengerti itu tapi seharusnya Barry tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Apa salahnya laki-laki itu memberitahunya dengan baik-baik.

"Aku menyesal. Sungguh." Ujar Barry.

Arletta mendorong tubuh Barry. Ia melepaskan pelukan itu perlahan. Tidak ada perlawanan dari Barry. Laki-laki itu pasrah seperti ia pasrah pada setiap keputusan Arletta. Ia sudah siap.

"Maaf kau menyakiti perutku." Gumam Arletta. Tapi Barry tahu bukan itu alasannya karena setelah mengatakan itu Arletta melangkah mundur. Memberikan jarak padanya.

"Seharusnya saat itu kau memberitahuku sehingga aku tidak membiarkan para tamu menunggu dan bertanya-tanya. Kau tahu kau membuatku sedikit trauma dengan kata 'nikah'." Arletta berucap lembut dan diakhiri dengan senyum tipis.

Kemana perginya Arletta yang angkuh. Arletta yang selalu percaya diri dan selalu mengandalkan dirinya. Barry tidak melihat Arletta disini. Siapa sosok yang beridiri di hadapannya ini. Wanita itu terlihat lebih banyak tersenyum tapi juga terlihat sangat rapuh.

Ya tuhan. Apa yang sudah dilakukannya.

"Ar, maaf."

Arletta menggeleng. "Ini bukan salahmu. Semua yang sudah terjadi bukan sebuah kesalahan. Aku sudah menganggapnya sebagai takdir."

Barry memang bodoh. Hatinya semakin sakit saat Arletta berkata seolah ia menegaskan semuanya baik-baik saja. Maka saat itu juga ia melihat Semua luka yang ada pada wanita itu.

"Aku ingin menebus kesalahanku."

Arletta kembali menggeleng dan saat Barry maju selangkah, Arletta melakukan hal sebaliknya. Ia mundur dua langkah. "Tidak perlu."

"Ar."

"Aku sudah merelakan semua yang terjadi. Setelah kejadian itu aku sadar. Bahwa semakin aku berusaha untuk merubah segalanya maka saat itu juga semua menjadi semakin buruk." Arletta kembali tersenyum.

"Tidak. Kita bisa memperbaikinya lagi." Barry mencoba meraih Arletta tapi wanita itu semakin menjauh.

"Barry maaf. Tapi aku yakin kau pantas mendapatkan yang lebih baik." Ucap Arletta.

"Tidak! Kita bisa memperbaikinya." lagi. Arletta kembali menggeleng.

"Kau tidak akan memaksaku lagi, bukan? Karena aku yakin hal itu akan sama tragisnya."

Barry memejamkan matanya. Kenapa disetiap ucapan Arletta benar-benar menyayat hatinya. Sebesar itukah luka yang ditorehkannya.

"Maaf. Tapi lebih baik seperti ini. Aku akan hidup tanpa kalian berdua. Kau atau pun Levin." Ucapan itu diiringi dengan pintu yang kembali tertutup.

Barry melihat pintu itu tertutup di depan matanya dan melihat Arletta yang menutup hatinya untuk dirinya.

Selama ini Arletta selalu membiarkan pintunya terbuka tapi Barry tidak pernah berhasil masuk... Kini pintu itu sudah benar-benar tertutup untuknya.

Inilah akhir cintanya. Cinta pertamanya. Setelah bertahan selama bertahun-tahun. Akhirnya tetap berakhir.... Dengan tragis. Setelah ini Barry bahkan tidak yakin apakah ia akan kembali menemukan cinta yang sama. Kenapa kata cinta terdengar sangat menyakitkan.

Dengan langkah pelan ia berbalik menuju mobilnya. Setitik air matanya jatuh.

Sementara itu, Irine. Sekretarisnya sudah menunggu disana. Barry menjatuhkan kepalanya dibahu wanita itu.

"Rasanya sakit." Adunya.

Irine mendongakkan kepalanya. Menatap langit yang tadinya cerah kini telat berubah mendung. Saat melihat orang yang kita cintai menderita maka kita akan ikut menderita, merasakan hal yang sama. Karena orang yang kita cintai bahkan lebih penting dari pada diri kita sendiri. Sama halnya dengan apa yang dirasakan Irine saat ini.

Ia mencintai laki-laki ini. Laki-laki yang terus berjuang untuk cintanya hampir diseluruh hidupnya.

Barry adalah orang yang tulus, hanya saja laki-laki tidak tahu cara menunjukkannya. Selama ini laki-laki itu selalu ketakutan. Takut cintanya akan meninggalkannya.

Kini semua benar-benar terjadi.

Irine menepuk-nepuk punggung Barry. Memberikan sedikit kekuatan untuk laki-laki itu....

Dan untuk menguatkan dirinya sendiri.

-oOo-

Sementara itu Arletta meraung menangis dibalik pintu itu. Kaki-kakinya lemas...  Rasanya terlalu berat. Ia ingin menyalahkan tuhan atas takdir yang menyakitkan.

Kenapa tuhan memberikan mereka semua perasaan cinta yang saling berbalik. Jika rasa cinta itu hanya memberikan rasa sakit, kenapa mereka semua harus merasakannya.

Dulu mereka hanya empat orang anak yang tertawa bersama dengan seragam abu-abu mereka. Saling mengejek dan saling menguatkan disaat bersamaan. Seharusnya semuanya terus berlangsung seperti itu saja.

Semuanya pasti akan berakhir bahagia.

Tidak seperti sekarang.

Levin yang terluka karena Nadine.

Barry yang terluka karenanya.

Nadine yang terluka karena perasaan bersalah padanya dan Levin.

Dan tentu saja ia yang terluka selama bertahun-tahun karena cinta bodohnya pada Levin.

Mungkin ini adalah hukumannya. Ia yang egois mempertahankan Barry disisinya. Menjadikan Barry pelariannya sementara hatinya masih terpaku pada satu nama.

Levin.

Dan akhirnya mereka terluka bersama....

Saling melukai.

-oOo-

Berat banget nulis part ini.

Cringe... I hate this word.

Semoga semua yang suka php mendapatkan penyesalan Dan...

Semoga dia diberi balasan. Amin...

Darts With The BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang