Saya tau baca satu part itu gak puas... Jadi nih... Tambahannya..
-o0o-
Levin mendengus gusar. Otaknya terasa tumpul sekarang.
Setelah melihat kemesraan Nadine dan suaminya tadi. Levin sempat mengurungkan niatnya untuk menghancurkan pesta Arletta. Yang tadinya ia berpikir akan menculik Arletta, berubah total setelah melihat Nadine. Kenyataan itu seolah memukul dirinya, jika mereka yang bahagia memang seharusnya tidak berada disisinya. Bahkan karena terlalu lama larut dalam pikirannya membuat Levin membiarkan dirinya bersembunyi di dalam mobil. Hanya sosok itu yang berhasil mengusik kesadarannya.
Wanita itu berjalan tanpa arah dengan pandangan kosong. Rambutnya sudah tergerai, menari mengikuti angin dengan gaun putih yang ikut melambai seiiring dengan langkahnya. Wanita itu berhenti berjalan tepat di tengah jalan. Karena penasaran apa yang dilakukannya, Levin beranjak keluar dari mobilnya. Dan pemandangan selanjutnya lah yang membuat tubuhnya segera mengambil alih.
"Apa kau gila?!" Teriakan itu tidak dihiraukan Arletta.
Berbeda dengan respon tubuhnya yang masih terkejut dengan nafas tidak teratur karena dipaksa berlari secepat mungkin. Arletta lebih dari sekedar tenang. Jika saja tidak ada deru nafas ringan yang menggelitiknya, mungkin ia benar-benar berpikir Arletta benar-benar tiada.
Levin memejamkan matanya. Hal itu sungguh mengusiknya. Tidak. Arletta tidak mungkin sebodoh itu. Tidak masuk akal jika wanita itu ingin bunuh diri.
Levin mengerang. Kenapa memeluk musuhnya bisa senyaman ini. Seolah tubuh ini yang ia butuhkan selama ini.
Arletta bergerak untuk keluar dari rengkuhannya. Tapi dengan cepat Levin mempererat pelukannya.
"Lepaskan aku." Cicit Arletta ringan.
"Tidak." Levin bersikeras menghiraukan gerakan kecil Arletta. Arletta mungkin tidak tahu jika jantung laki-laki itu hampir berhenti.
Arletta yang merasa Levin semakin merapat padanya membuat dirinya semakin gugup. Ia takut kalau nanti tidak bisa menahan dirinya. Ia tidak mau menangis dihadapan Levin.
"Aku wanita yang sudah bersuami." Bohong Arletta berharap keberuntungannya. Tapi mungkin hari ini memang bukanlah hari keberuntungannya.
Bukannya melepaskan Arletta. Levin semakin mengeratkan pelukannya. Menekan perasaan kecewa di dadanya. "Aku tidak perduli." Jawabnya lugas.
"Kau tidak bisa bersikap semaumu!" Arletta kembali berontak.
"Kenapa tidak." Levin menggertakkan giginya. "Bukankah kau bilang menyukaiku?"
"Aku tidak pernah mengatakan itu." Arletta tidak bohong. Ia benar-benar tidak ingat kapan ia mengatakannya.
Levin tertawa. "Kau jelas mengatakannya sendiri."
"Kau pasti bermimpi. Aku tidak pernah menyukaimu!" Kekuh Arletta.
Levin berdecih. "Benarkah. Kalau begitu siapa yang kau sukai?"
Arletta tertegun. Ia tidak menyangka akan menerima pertanyaan itu. Tidak pernah ada yang menanyakan hal itu.
Levin kembali tertawa. "Kau diam."
Arletta menggigit bibirnya. Ia tidak suka ditertawakan. "Siapa pun itu. Itu bukan urusanmu." Jawabnya dingin. Arletta mendorong dada Levin hingga mereka terpisah.
"Kau.... Jangan pernah muncul dihadapanku lagi." Ancam Arletta.
Levin memilih diam sesaat. Menatapi Arletta yang mulai berbalik untuk meninggalkannya. Tentu saja ia tidak akan mudah melepaskan wanita itu. Tapi apa ia masih akan memperjuangkan seorang wanita yang sudah bersuami. Tatapannya jatuh pada ujung sepatutnya. Menggelikan. Hidupnya terasa seperti lelucon.
Dua kali.... Ia kembali merasa dicampakkan oleh wanita. Tapi kali ini rasanya jauh lebih menyesakkan.
"Kenapa? Kau takut pria itu menceraikanmu?"
Arletta memilih terus melangkah. Menghiraukan ucapan itu. Ia tahu kalau tidak dihentikan. Maka pertengkaran mereka akan terus berlanjut. Arletta mengepalkan tangannya, menekan segala rasa sesak itu.
"Apa Barry tahu kau itu bekasku?"
Bekasku.
Bekasku...
Arletta berdecih. Kesabarannya habis. Arletta merasa sangat buruk untuk yang kesekian kalinya. Harusnya Levin tidak pernah membahasnya lagi. Tidak tahukah laki-laki itu jika hal itu melukainya. Kenyataan itu juga yang membuatnya berpikir Barry pantas meninggalkannya, dan semua itu karena laki-laki dihadapannya. Ia berbalik, berjalan mendekati Levin. Siap melayangkan tamparannya pada Levin. Ia sudah muak dengan semua ucapan Levin.
Levin yang lebih dulu membaca pergerakan Arletta dengan sigap menangkap lengan Arletta. Menarik wanita itu hingga kembali berada direngkuhnya.
"Aku bukan barang. Kau tidak berhak memanggilku 'bekasmu'!" Tentu saja Arletta kembali meronta... Tapi tubuhnya kembali berkhianat saat Levin mengucapkan mantranya.
"Maafkan aku....." Levin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Arletta. Membiarkan dirinya merasakan dan menghirup aroma itu untuk terakhir kalinya.
Ya, inilah akhirnya.
Levin sadar. Selama ini ia sudah terlalu egois menempatkan Arletta di posisi terburuk. Dirinya juga yang membuat wanita itu harus melepaskan segalanya, termasuk mimpinya. Dan apa dirinya masih seegois itu untuk menempatkan Arletta disampingnya. Jawabannya tidak.
Bagaimana pun wanita itu pantas bahagia.
Apa yang dirasakannya saat ini adalah sebuah kekecewaan. Tapi ia kembali sadar jika yang dirasakan wanita itu lebih dari yang dirasakannya saat ini.
Seharusnya sejak awal ia memang tidak pernah mempermainkan wanita itu. Andai ia datang lebih awal ia pasti sudah menikahi Arletta. Bukannya orang lain.
Tapi jika memang ini keputusan wanita itu. Maka wanita itu pantas bahagia.
"Aku senang kau bahagia sekarang.... Kau dan Barry sangat serasi. Sejak dulu aku selalu iri pada kalian." Levin tersenyum sendu. "Kalau waktu bisa di putar, aku ingin kita kembali ke masa lalu. Dimana kita tidak pernah saling menyakiti."
Arletta tertawa pelan. Bahkan sejak dulu ia selalu diposisi yang tersakiti.
"Jika kau memang tidak ingin melihatku... Aku akan mengabulkannya." Levin melepas rengkuhannya. Yang membuatnya terkejut adalah wajah Arletta yang sudah berair. Arletta menangis.
Levin tertawa pelan. "Kau menangis?" Berpikir jika Arletta ikut terharu dengan ceritanya.
"Aku benar-benar akan mengabulkan permintaanmu. Jadi jangan menangis." Levin mengelus puncak kepala Arletta.
Arletta terisak. Sejak kata maaf yang Levin luncurkan. Arletta memang sudah menangis. Ia juga tidak menyangka kata maaf itu seperti mantra ajaib untuknya. Arletta bahkan masih bisa menahan diri meski ditinggal Barry di hari pernikahannya. Tapi melihat Levin yang membuka topengnya dan memperlihatkan sifat aslinya didepannya, serta permintaan maaf yang tulus dari Levin membuat pertahanannya runtuh.
"Kau memang bodoh, Vin." Arletta memukul pelan dada Levin.
"Ya, aku memang bodoh. Jika saja, kemarin aku tidak bertemu Nadine. Mungkin aku masih dengan bodohnya menyalahkanmu."
Arletta menghentikan pukulannya.
Jadi semuanya karena Nadine.
Arletta tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. Ia lupa jika semua yang dapat mempengaruhi perubahan Levin adalah seorang Nadine.
"Kurasa akan lebih baik jika kita benar-benar tidak bertemu lagi." Arletta memaksakan senyumnya. "Aku sudah bahagia bersama Barry. Kau juga harus bahagia, Vin."
-o0o-
Jangan baper.... Hehe...
KAMU SEDANG MEMBACA
Darts With The Bastard
RomansaSejak pertemuan pertama mereka Arletta sudah mengibarkan bendera permusuhan pada Levin dan sejak itu juga Levin selalu mengganggu gadis itu. Satu-satunya gadis yang tidak bisa ia baca. Bagi Levin, Arletta adalah gadis angkuh yang keras kepala. Hubun...