Bagian 17.1 - Wedding's died

11.1K 776 14
                                    

Cahaya jingga matahari itu seperti penghias untuk pernikahannya, menutupi warna-warna putih itu. Arletta menatapi tamu-tamunya yang sedikit demi sedikit mulai meninggalkan acaranya. Bukan karena acara sudah selesai, tapi karena acara ini tidak berlangsung sama sekali.

Arletta tersenyum sendu menerima uluran salam dari setiap tamu disana. Semuanya berkata sama.... menguatkan dirinya. Bukan kata-kata selamat seperti yang didapat pengantin biasanya.

Sekarang semua benar-benar sepi, benar-benar kosong, menyisakan dirinya yang berdiri sendiri di tengah-tengah. Ia harus menerima kenyataannya.

Mempelai laki-lakinya tidak pernah datang.

Seharian ini Barry benar-benar tidak memunculkan batang hidungnya. Saat ia mencoba menghubunginya handphonenya tidak aktif.

Arletta tertawa sinis. Dosa apa yang dilakukannya dimasa lalu. Apa semua ini kutukan dari setiap perbuatannya yang buruk.

Hamil diluar pernikahan.

Ditinggal mempelainya di hari pernikahannya.

Apakah ini karmanya? Dulu ia hanya sering mematahkan hati para laki-laki yang berkata mencintainya. Tapi itu bukan salahnya. Ia tidak memiliki pilihan. Bahkan saat Badboy sejenis Barry memaksanya dan mengancamnya untuk pertama kalinya. Arletta tidak memiliki pilihan selain menjadi pacar laki-laki itu. Selalu bersikap tenang agar tidak ada seorang pun yang mengasihaninya. Berkata seolah itu semua atas kemauannya sendiri. Yang Arletta lakukan hanyalah mencoba mengubah Barry menjadi sosok yang lebih baik. Ya, ia berhasil sebelum akhirnya Arletta dipaksa sadar jika seorang bastard tidak akan pernah berubah.

Barry tetaplah seorang Bastard.

Arletta memejamkan matanya sejenak. Selama ini yang ia inginkan hanyalah hidup dengan tenang. Apa sulitnya itu?

"Ar.. kau baik-baik saja."

Jacob berdiri disana. Kali ini hilang semua sifat tengil laki-laki itu. Dan tatapan itu. Arletta membencinya. Rasa kasihan itu Arletta sungguh muak melihatnya.

"Jangan menatapku." Arletta membuang wajahnya ke arah lain.

Sadar dengan ketidaknyamanan Arletta, Jacob berusaha mengalihkan pembicaraan. "Seharusnya hari ini kau menikah denganku saja. Jadi kau tidak perlu menunggu seharian, seperti orang bodoh."

Arletta mendelik. Sebal dengan kata-kata Jacob yang berlagak seperti seorang Hero. "Kau menyebalkan."

Jacob meringis. Sepertinya ia salah bicara lagi.

Arletta mendengus. Dibandingkan dirinya, Nadine lebih terlihat manusiawi. Ibu satu anak itu sudah menangis sejak tadi berlomba dengan tangisan si kecil Arga. Disampingnya Angga terus mendampingi istrinya.

Arletta berjalan mendekat. "Kau harus pulang, Dine." Ujar Arletta setelah sampai.

"Tidak mau!" Nadine berujar tegas. "Aku tidak mau meninggalkanku."

"Kau tidak kasihan dengan anakmu. Kau sudah punya anak. Bersikaplah lebih dewasa."

"Tidak mau."

Arletta memutar bola matanya. "Kenapa kau suka sekali disini. Aku saja sudah mau pulang."

Nadine mendongak. "Apa kau baik-baik saja?"

"Tentu saja. Memangnya kau pikir aku kenapa?" Bohong, Hatinya bahkan menjerit pilu. Arletta hanya menunggu waktu dan tempat yang pas untuk menumpahkannya.

"Kau selalu sekuat ini."

Arletta tertegun. Ia mendekat. Menghapus sisa air mata Nadine dan tersenyum. "Pulanglah. Putramu lapar."

Nadine menghela nafasnya lelah. Ia menatap putranya yang masih menangis. Benar kata Arletta. Tidak ada gunanya juga ia menangis. Tapi hatinya sangat sakit. Meski tidak terisak, air matanya tetap saja mengalir. Sebenarnya ia sendiri ingin sekuat Arletta, tapi ia bahkan tidak bisa menahan air matanya.

"Maafkan aku tidak bisa selalu disisimu." Cicit Nadine pelan.

Arletta tersenyum. "Aku mengerti."

"Kau harus kuat." Kali ini Angga yang mengingatkannya sambil menepuk bahunya. Arletta hanya menjawab dengan senyuman dan anggukkan.

Setelah Nadine dan Angga pergi barulah ia menghadapi masalah yang sesungguhnya.

Menjelaskan kepada keluarganya.

Ibunya pasti akan mengerti tapi ayah dan adiknya? Dirinya sangat tahu seberapa keras dua laki-laki itu.

"Ar... Aku sudah dapat tiketnya." Dari jauh Ron berjalan cepat. Mendekati Arletta.

"Kapan penerbangannya?" Arletta bertanya tanpa menghentikan langkahnya.

"Malam ini." Jawaban lugas Ron yang membuat senyum Arletta terbit.

Setidakmya masih ada satu keberuntungan yang tersisa untuknya hari ini.

-o0o-

Arletta berjalan pelan. Ia memejamkan matanya. Merasakan hawa malam perlahan mulai mengelilinginya. Ron sudah berhenti mengikutinya setelah ia membentaknya tadi. Hari ini Arletta hanya ingin sendirian.

Keluarganya tidak marah tidak juga mencoba menenangkannya, tapi lebih dari itu, mereka terlihat menghindarinya. Masih terekam jelas saat ayahnya dengan tegas akan mengirimnya ke Swiss. Ia dipaksa tinggal selamanya disana. Ayahnya bilang ini yang terbaik untuknya. Ayahnya hanya tidak ingin ia dihina dan dicampakkan lagi. Tapi pada kenyataannya... Tanpa sadar keluarganya ikut mencampakkannya.

Arletta merasa seolah ditolak dunia. Ia seolah sadar jika dirinya memang tidak pernah diinginkan oleh siapa pun. Bahkan oleh keluarganya sendiri.

Langkah Arletta terhenti di tengah jalan. Entah kenapa mati terasa lebih baik untuknya. Arletta hanya harus menunggu ada mobil yang lewat dan menabrakkan dirinya. Setelah itu ia pasti akan tenang.... Selamanya.

Baru saja ada mobil yang melaju dengan cepat. Tubuhnya sudah terhempas ke dalam rengkuhan seseorang.

Hangat.... Rasanya lebih nyaman, mengabaikan dada orang itu yang terasa naik turun dengan jantung yang berdegup kencang.

"Apa kau gila?!" Teriakan itu tidak dihiraukan Arletta.

-o0o-

Haha... Tadi saya salah upload.
💙

Darts With The BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang