Bagian 2 - Perasaan yang tersembunyi

12.3K 828 4
                                    

Keriuhan terjadi setelah kepala sekolah mengumumkan kelulusan para murid yang dinyatakan lulus tanpa terkecuali dengan nilai rata-rata yang cukup memuaskan. Setelah upacara berakhir semua siswa berbondong-bondong mendekati papan pengumuman untuk melihat nilai mereka masing-masing.

Seulas senyum terbit diwajah Arletta, jari telunjuknya masih menempel pada deretan baris dengan namanya. Disana ia melihat nilainya yang tidak terlalu bagus, meski kebanyakan standar tapi ia merasa puas karena semua berkat kemampuannya sendiri. Ia kembali terkekeh mengingat rencana 'ngepek'nya yang gagal total akibat ulah Levin.

Ternyata ia tidak terlalu bodoh, batinnya bangga.

"Lumayanlah."

Arletta tertegun saat mendengar suara bass dibelakangnya. Itu adalah suara Levin, bahkan aroma tubuh Levin sudah tercium dan tersimpan rapi di dalam memorinya. Arletta menutup matanya untuk menikmati aroma tubuh Levin lebih dalam.

Nadine! Nama itulah yang membuat Arletta tersadar dari kenikmatan semu itu. Ia tidak boleh menikmati aroma tubuh Levin yang membuatnya terlena dan melupakan perasaan sahabatnya.

Telunjuk Levin tanpa sengaja bersentuhan dengan telunjuk Arletta. Dahinya mengernyit Karena yang pertama kali dilihatnya adalah nilai-nilai Arletta yang memang sedikit pas-pasan hampir berbanding terbalik dengan nilai-nilainya yang hampir sempurna di setiap mata pelajaran.

"Kalau mau ngejek gak usah ditahan!" Arletta mendorong Levin ke belakang dengan punggungnya dan berjalan meninggalkan Levin yang masih setia didepan papan pengumuman itu. Langkahnya sedikit memburu dan tangannya sudah menyentuh permukaan dadanya untuk menahan debaran jantungnya. Namun Arletta harus kembali menahan nafasnya saat sebuah tangan besar kembali menarik lengannya.

"Let!"

Arletta memejamkan matanya, Kemudian berbalik dengan berani.

"Rasanya lebih lega kan dari pada hasil ngepek?" Levin tersenyum manis padanya dan membuat Arletta harus kembali menahan nafasnya.

Arletta mengangguk pelan tanpa menjawab.

"Aku tahu kamu sama sekali tidak menyukaiku dan aku tidak pernah keberatan karena aku pun sama, tapi aku harap tidak ada dendam diantara kita setelah ini karena aku dan Nadine sudah resmi berpacaran. Aku hanya butuh restumu karena kau sahabat Nadine." Ucap Levin yang keluar dari mulutnya dengan lancar, namun membuat dada Arletta semakin sesak karena menyadari status dan keberadaannya bagi seorang Argata Levin.

Lagi-lagi Arletta mengangguk. Ia tersenyum dengan mata sedikit berkaca. "Iya" Jawabnya singkat, sedetik kemudian ia menarik lengannya dan melangkah terburu-buru meninggalkan Levin.

'Sabar Ar, sebentar lagi kau akan berpisah dengan Levin, kau pasti bisa melupakannya!' Dalam hati Arletta terus merapalkan mantra itu. Hatinya kembali terasa diremas saat sekelibat ucapan Levin tadi lewat tanpa sengaja dikepalanya. "Aku tahu kau sama sekali tidak menyukaiku dan aku tidak pernah keberatan karena aku pun sama,..."

"...Aku hanya butuh restumu karena kau sahabat Nadine."

Ya, tuhan rasanya sangat sakit.

"Baby!"

Arletta kembali memejamkan matanya saat bisikan sensual Barry terdengar dekat ditelinganya. Nafas Barry menggelitik lehernya dan membuatnya risih. "Bar, kita lagi disekolah."

"So, why?!" Tanya Barry dengan nada ketus. "Kamu selalu nolak aku, Ar!" Kini Nada suara Barry mulai meninggi.

"Bukan gitu, bar. Aku hanya belum terbiasa." Arletta mengucapkannya takut-takut. Tentu saja ucapan Arletta akan terdengar aneh di telinga Barry mengingat mereka sudah menjalin hubungan lebih dari satu tahun.

Darts With The BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang