"Kau sedang melihat apa?" tanya Rachles dengan senyum palsu. Dia bisa menebak bahwa Fiera pura-pura baik-baik saja dan tidak mau Rachles mengetahui permasalahan keluarganya.
Baiklah, jika Fiera mau bersikap demikian, Rachles hanya akan mengikuti.
"Aku tidak memperhatikan apapun. Aku hanya sedang bosan menunggu kalian." Fiera menjelaskan sambil melangkah di sebelah Rachles.
"Tadi kan aku sudah menyuruhmu belanja duluan."
Fiera mengangkat bahu. "Tidak menyenangkan belanja sendirian."
"Ma, nanti kita pergi main." Russel yang masih berada dalam gendongan Rachles berkata senang.
"Main di mana?"
"Itu, Ma. Di tempat yang banyak permainannya." Russel berkata sambil menunjuk arena permainan.
Fiera tersenyum sedih lalu mengacak pelan rambut Russel. Dia segera memalingkan wajah saat merasakan air matanya menggenang tanpa bisa dicegah.
Rachles sempat melihat mata Fiera yang berair. Keningnya berkerut bingung. "Biasanya Russel suka main apa di sana?" Rachles bertanya pada Russel.
Jelas Fiera tidak akan menunjukkan kesedihannya dan berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja. Rachles berharap kepolosan Russel akan menjawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.
"Russel belum pernah main di sana. Anak-anak di sana bermain bersama Papanya. Jadi Russel menunggu Papa untuk bermain."
Baiklah, tidak perlu dilanjutkan. Rachles bisa menebak bahwa Raynand terlalu sibuk dengan urusan kantor atau ke luar kota hingga tidak punya waktu menemani Russel bermain.
"Lain kali jangan menunggu. Minta Mama untuk hubungi Papa Rachles jika Russel ingin ditemani. Oke?"
"Oke." Sahut bocah itu riang.
Dada Fiera terasa sesak mendengar percakapan dua orang di sebelahnya. Andai Raynand yang ada di sini bersamanya dan Russel. Andai Raynand yang menemani mereka. Pasti Fiera tidak perlu menahan sakit melihat kegembiraan putranya. Dia juga akan menikmati dan turut gembira bersama.
Tapi sekarang tidak bisa. Rasa sakit itu terus muncul karena tempat yang harus diisi suaminya malah digantikan oleh adik iparnya. Raynand sama sekali tidak peduli dan lebih asyik dengan wanita itu.
"Ah!"
Fiera memekik kaget saat tiba-tiba lengannya ditarik. Dia bahkan belum menyadari apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada dalam dekapan hangat Rachles.
"Ada apa antara kau dan tembok ini? Kau ingin menciumnya?"
Lengan kanan Rachles masih menggendong Russel. Sementara lengan kirinya kini memeluk Fiera yang mendongak menatapnya dengan raut bingung.
"Hah?" Fiera hanya sanggup berkata demikian. Mata hitam teduhnya seperti terperangkap mata cokelat keemasan Rachles.
Fiera akui, mata cokelat keemasan itu memikatnya. Namun tidak menggetarkan hati seperti saat menatap mata biru terang milik Raynand. Bersama Rachles Fiera merasa nyaman dan—lengkap. Mungkin karena sosok Rachles mengisi kekosongan yang ditinggalkan Raynand.
Rachles mendesah melihat Fiera tampak linglung. Dia pasti belum benar-benar tersadar dari lamunannya. Seharusnya tadi Rachles biarkan saja wanita itu menabrak tembok dengan keras. Tapi sayang, hatinya tidak mungkin tega.
"Apa sih yang kau pikirkan sampai tidak sadar nyaris menabrak tembok?"
Fiera melirik dinding putih yang tidak jauh dari mereka. Seketika dia menyadari apa maksud Rachles. Dengan malu Fiera melepaskan diri dari dekapan Rachles lalu nyengir. "Sepertinya aku melamun."

KAMU SEDANG MEMBACA
His Smile (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Rachles jatuh cinta untuk pertama kalinya di usia dua puluh enam tahun. Namun sayang, rasa cinta itu harus ia kubur karena wanita yang ia cintai adalah calon istri sang kakak. Lucu sekali. Dia jatuh cinta sekaligus...