"Raynand?" Fiera bersuara kaget saat melihat suaminya sedang berdiri tegak di depan pintu rumah yang terbuka lebar. Gugup menyelimuti dirinya ketika menyadari kilatan di mata lelaki itu. Sorot yang pernah dilihatnya dua tahun lalu.
Raynand sedang marah besar.
Dengan hati gentar, Fiera keluar dari mobil sambil menggendong Russel yang terlelap. Perhatiannya tertuju pada Raynand. Dia bahkan tidak menyadari kapan Rachles keluar dari mobil dan kini berdiri di sampingnya.
"Raynand, kapan kau pulang?" Rachles berbicara santai seolah tidak melihat kemarahan di mata kakaknya.
Raynand diam dengan bibir terkatup rapat. Dia menunggu hingga ketika orang itu berada di hadapannya, baru kemudian berbicara, "Kau langsung mematikan telepon tadi." Nada suara Raynand terdengar menuduh pada Rachles.
"Oh, tadi itu kau mau memberitahu bahwa sudah pulang? Kupikir kau menelepon karena khawatir atau rindu pada Fiera dan Russel." Kening Rachles berkerut. "Aneh sekali Fiera tidak tahu bahwa kau akan pulang hari ini. Memangnya kau sama sekali tidak menghubungi Fiera ketika pergi?"
Raynand gugup dengan pertanyaan Rachles. Tapi dengan lancar dia menyembunyikan perasaannya. "Seharusnya aku pulang beberapa hari lagi. Tapi karena pekerjaanku selesai lebih cepat, jadi aku pulang dan sengaja tidak mengabari Fiera sebagai kejutan."
Rachles tersenyum lebar lalu menepuk lengan atas Raynand. "Sungguh suami yang romantis." Sebenarnya ini ejekan. Tapi hanya Rachles yang tahu.
"Sebaiknya aku membawa Russel ke kamarnya." Fiera berkata lirih.
Belum sempat melewati ambang pintu, ucapan Rachles terdengar dan membuat langkah Fiera membeku. "Tidak ada pelukan atau ciuman? Kalian kan baru bertemu setelah beberapa hari."
Buru-buru Fiera meninggalkan kedua lelaki itu karena tidak ingin mendengar alasan lain yang akan digunakan Raynand. Sementara itu Raynand menatap kesal adiknya. "Itu bukan urusanmu. Cepatlah menikah agar kau tahu bahwa suami istri tidak harus mengumbar kemesraan."
"Whoa, kau ini kenapa sih?" tanya Rachles tanpa rasa bersalah lalu berjalan santai hendak masuk.
Menyadari Rachles mendekati pintu rumah, Raynand mencekal lengannya. "Mau ke mana?"
Rachles menoleh, menatap kakaknya masih dengan raut tenang dan bersahabat. "Ah, iya. Aku lupa mengatakan itu. Sejak tadi malam aku tinggal di sini. Nenek, Mama dan Papa sudah memberi izin." Sengaja Rachles tidak mengungkit bahwa Fiera yang menawarkan agar Raynand tidak melampiaskan kekesalan pada Fiera.
Mata Raynand melebar. "Ini rumahku. Jika kau mau tinggal di sini, kau harus meminta izin dariku. Mama, Papa, atau bahkan Nenek tidak berhak menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh tinggal di sini."
Rachles memperhatikan Raynand dengan mata menyipit. Kali ini tidak ada lagi jejak humor di bibirnya. "Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan?" sengaja Rachles maju selangkah untuk mengintimidasi Raynand. "Kalian tampak harmonis dari luar. Tapi apakah ada sesuatu yang terjadi hingga kau tidak mengizinkan orang luar tinggal di rumah kalian, meski itu adikmu sendiri?"
Raynand tampak semakin gugup. Tapi lagi-lagi dengan cepat ia menyembunyikannya. Dia berdecak. "Rachles, tidakkah kau mengerti? Dengan adanya dirimu di rumah kami, aku dan Fiera jadi tidak leluasa bermesraan. Lagipula, harusnya kau sudah kembali ke luar negeri sekarang."
"Aku putuskan untuk menetap di negara ini dan mulai mencari istri. Aku juga ingin memiliki anak yang menggemaskan seperti Russel."
Raynand tersenyum. "Itu bagus sekali. Tapi kenapa kau tidak membeli apartemen saja? Kenapa harus di sini?"

KAMU SEDANG MEMBACA
His Smile (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Rachles jatuh cinta untuk pertama kalinya di usia dua puluh enam tahun. Namun sayang, rasa cinta itu harus ia kubur karena wanita yang ia cintai adalah calon istri sang kakak. Lucu sekali. Dia jatuh cinta sekaligus...